Minggu, 17 Oktober 2010

TUGAS
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dosen : Prof. Dr. Slameto, M.Pd.

DISUSUN OLEH:
Berti Muryan .S 292008176
Dedy Yusuf 292008200
Deny Risnanto 292008144
Erik Edi .N 292008045
Galih Yudha .N 292008057
Yudan .M 292008005


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010




ABSTRAKSI

Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.















BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu diantara tujuan pendidikan nasional yang memiliki keterkaitan dengan dengan pilar kedua rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) adalah mutu pendidikan nasional. Persoalan yang sering terjadi dengan peningkatan mutu pendidikan adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang lebih mementingkan input dan output dibandingkan melihat proses dan aspek lainnya, tingkat keberdayaan sekolah dalam menjalankan fungsi manajemen di sekolah masing – masing, peran serta masyarakat yang masih rendah, serta peralihan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik menjadi desentralistik.
Untuk mengatasi hal tersebut dan seiring dengan era otonomi daerah dengan asas desentralisasinya, peningkatan mutu dan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dari seluruh komponen pendidikan dan pemberdayaan komponen pendidikan. Pemerintah juga telah menerapkan MBS yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola dan juga meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing – masing. Pengalaman disejumlah negara yang telah menerapkan MBS seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Hongkong dan beberapa sekolah yang menjadi contoh penerapan MBS memberikan gambaran bahwa penerapan MBS di sekolah merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada dan di Indonesia.
2. Lima Kebijakan pokok SMI di Hongkong apakah sudah menjawab masalah pendidikan di Hongkong.
3. Pengertian Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat dan ilustrasinya.
4. 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia, dan satu motif terpenting dari penerapan MBS di sekolah.
5. Kendala penerapan MBS di Sekolah dan pihak mana saja yang paling banyak mengubah peranannya dalam pengelolaan pendidikan.
6. Saran – saran mengenai pemecahan kendala-kendala pelaksanaan MBS.
7. Karakterisrik MBS secara keseluruhan.
8. Pengertian partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam Prinsip – Prinsip Good Governance.
9. Ilustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam Penerapan MBS dan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
10. Latar belakang perlunya implementasi MBS.
11. Contoh Kriteria Keberhasilan Implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah.
12. Keterkaitan Antara Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan dengan MBS.
13. Contoh Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Pengelolaan Sekolah dan Bidang Sarana dan Prasarana Sekolah Yang Harus Ada di SD/MI.

BAB II
PEMBAHASAN
Kita tahu bahwa tingkat pendidikan di-Indonesia masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara yang lebih maju. Maka dari itu pemerintah menerapkan MBS disekolah dengan pandangan bahwa MBS adalah jalan keluar paling efektif dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Ada 3 kompenen yang terdapat dalam MBS yaitu MS (Manajemen Sekolah), PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan), serta PSM (Peran Serta Masyarakat) dimana ketig-tiganya bertujuan untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan berdasarkan MBS dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
1. Pelaksanaan MBS Diberbagai Negara
a. Pelaksanaan Perkembangan MBS di Kanada
Pelaksanaan MBS di Kanada berisikan tentang pengambilan kebijaksanaan yang diberikan kepada sekolah masing-masing atau sering dikenal dengan School – Site Decission Making. Sehingga tiap sekolah atau provinsi bertanggung jawab atas pendidikan masing-masing baik dari segi administratif maupun pengambilan kebijakan.
Di Kanada MBS dimulai pada tahun 1970 dengan 7 sekolah sebagai percobaan. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan, dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981 diadopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan pendekatan manajemen mandiri.
Menurut Sungkowo (2002), cirri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut:
1. Penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah
2. Anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum.
3. Alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah
4. Adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja.
Di Kanada MBS menekankan pengambilan keputusan, yaitu pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara langsung. Akan tetapi hanya terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan, dan penghentian tenaga guru dan administrasi, pengadaan peralatan sekolah, pelayanan kepada pelangganan sekolah. Sejak diterapkannya MBS maka sekolah-sekolah diberi kewenangan untuk menentukan:

1. Pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat
2. Pengadaan peralatan seperti buku, alat tulis, dan bahan praktik laboratorium semuanya didrop dari pusat.
3. Pelayanan pendidikan kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat mulai ditinggalkan.

Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan mengundan-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.

b. Pelaksanaan MBS di Hongkong

Program SMI yang di Hongkong menekankan pada inisiatif sekolah dalam manajemen sekolah. Latar belakang munculnya adalah untuk memecahkan permasalahan pendidikan di Hongkong yaitu: struktur manajemen yang belum memadai,kurangnya peran dan pemahaman tentang tanggung jawab, tidak terdapatnya program pengukuran kemampuan, menekankan fungsi kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja yang bertanggung jawab dan akuntabilitas, menekankan pada biaya margin daripada efektivitas nilai uang dan biaya. Cheng (1996:44) memberikan pernyataan bahwa pelaksanaan SMI didasarkan oleh usaha untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan dengan cara memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, perbaikan fasilitas belajar mengajar seperti program remidial, program bimbingan siswa, serta beberapa penataran dalam jabatan. Kebijakan ini pelan – pelan mengubah model manajemen yang sifatnya sentralistik dan memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah tersebut.

Lima Kebijakan pokok dalam SMI di Hongkong
Kerangka acuan SMI di Hongkong ada lima kebijakan, yaitu:
1. Peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan
2. Peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah
3. Fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
4. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
5. Sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas

Kelima kebijakan dapat disimpulkan menjadi dua, yaitu:
a. Sistem pelaporan atau penilaian yang direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki.
b. Pelaporan Akuntabilitas sekolah yang dimaksud sebagai suatu keseluruhan perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai serta mempertanggungjawabkannya.
Jadi, SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan. Dalam penyelenggaraan sekolah menekankan partisipasi guru, orangtua, dan siswa tentunya.

c. Pelaksanaan Perkembangan MBS di Amerika
Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat menekankan kepada partisipasi dalam pendidikan dari berbagai pihak. Manajemen mengandung arti optimalisasi sumber-sumber daya atau pengelolaan dan pengendalian. Persoalannya adalah pengelolaan dan pengendalian seperti apa yang kini dibutuhkan oleh sekolah ?
Beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah, antara lain ; tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap hasil pendidikan yang disebabkan adanya perubahan perkembangan kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan budaya. Semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan kebutuhan kehidupan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntutan tersebut bermuara kepada pndidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
Model MBS telah dicoba di Amerika, berasal dari karya Edward E. Lawler dan kawan-kawan (dalam Susan Albert Mohrman, dkk) ternyata telah membawa dampak terhadap peningkatan kualitas belajar mengajar. Hal tersebut disebabkan oleh adanya mekanisme yang lebih efektif, yaitu pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat, sekaligus memberikan dorongan semangat kinerja baru sebagai motivasi berprestasi kepada kepala sekolah dalam melakukan tugasnya sebagai manajer sekolah. Dalam banyak kasus disebutkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah telah membawa dampak positif seperti yang dialami oleh sekolah-sekolah di beberapa negara antara lain di Selandia Baru, dan
Chile. Bagi sekolah-sekolah di Indonesia, ide dan pemahaman tentang MBS pada saat ini, merupakan momen yang tepat, pada saat munculnya perubahan politik pemerintah.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami konsep MBS:
Pertama : Pengkajian konsep MBS terutama yang menyangkut kekuatan desentralisasi , kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah. Dalam sistem keputusan, hal ini dikaitkan dengan program dan kemampuannya dalam meningkatkan kinerja sekolah.
Kedua : Penelitian tentang program MBS berkenaan dengan desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi Local Stakeholders . Pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pemberdayaan sekolah, perlu dihubungkan dengan efektivitas program.
Ketiga : Strategi MBS harus lebih menekankan kepada elemen manajemen partisipatif. Pengalaman dalam implementasi strategi MBS yang menekankan pada kekuasaan daripada kemampuan profesional (pengetahuan dan keahlian) menyebabkan kegagalan dalam menerapkan konsep MBS. Menurut Mohrman (1992), menyebutkan bahwa aspek kemampuan, informasi, dan imbalan yang memadai merupakan elemenelemen yang sangat menentukan efektivitas program MBS dalam meningkatkan kinerja sekolah.
Berdasarkan pelaksanaan MBS di negara maju, maka secara konseptual dan praktis, indikator keberhasilan MBS didukung oleh karakteristik-karakteristik dasar sebagai berikut :
1. Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah
2. Partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
3. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional
4. Adanya “team-work” yang tinggi dan professional

d. Pelaksanaan Perkembangan MBS di Indonesia
MBS bukanlah hal yang baru di-Indonesia. Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur(Kota Kupang). Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.

Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Seperti halnya 5 pokok SIM di Hongkong, MBS di-Indonesia juga bertujuan untuk menjawab berbagai permasalahan didunia pendidikan di-Indonesia dan dipandang sebagai cara yang paling efektif dan efisien.
Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia antara lain:
1. Motif ekonomi,
2. Motif profesional,
3. Motif politik,
4. Motif efisiensi administrasi,
5. Motif finansial,
6. Motif prestasi siswa,
7. Motif akuntabilitas,
8. Motif efektivitas sekolah.
Motif yang sering dipakai dan terlihat jelas digunakan oleh sekolah-sekolah karena dipandang penting adalah motif efektivitas sekolah. Motif efektifitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan disekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif-tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil, atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik, diupayakan menerapkan indikator-indikator atau ciri-ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS diharapkan setiap sekolah, sesuai kondisi masing-masing, dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks social budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran. Atau dengan kata lain, efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa).

2. Karakteristik MBS
MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah
b. Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
c. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional
d. Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional12
Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan . Sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS berdasarkan
berdasarkan pada input, proses dan output.
1. Input Pendidikan
Dalam input pendidikan ini meliputi;
(a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas,
(b) sumber daya yang tersedia dan siap,
(c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi,
(d) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (e) fokus pada pelanggan.
2. Proses
Dalam proses terdapat sejumlah karakter yaitu;
(a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi ,
(b) Kepemimpinan sekolah yang kuat,
(c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
(d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif,
(e) Sekolah memiliki budaya mutu,
(f) Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis.
3. Output yang diharapkan
Output Sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajarn dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir ( Kritis, Kreatif, Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya.
Karakteristik MBS bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi.
Sementara itu, menurut Depdiknas fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah
Sekolah di beri kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, Sekolah juga diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.
2. Pengelolaan Kurikulum
Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Sekolah di beri kebebasan untuk memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4. Pengelolaan ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
5. Pengelolaan keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus di beri kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata bergantung pada pemerintah.
6. Pelayanan siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
7. Hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

3. Kendala-Kendala Penerapan Pelaksanaan MBS
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
4. Prinsip Good Governance
a. Partisipasi
Partisipasi adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengeva-luasian pendidikan disekolah. Contohnya dalam pembelajaran dikelas siswa diharapkan tidak pasif. Jadi didalam kelas siswa dituntut untuk dapat mencari sendiri sumber bahan belajar lain yang akan dipelajari didalam kelas, bertanya mengenai hal-hal yang kurang dimengerti dalam proses KBM
Ilustrasi penerapannya antara lain setiap satu tahun sekali sekolah mengadakan rapat tahunan yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, dan orang tua murid untuk meninjau tentang hasil evaluasi pembelajaran serta memberikan masukan – masukan yang belum masuk dalam hasil evaluasi.
b. Transparansi
Transparansi adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Contohnya dalam pembelajaran dikelas guru harus adil dan transparan dalam memberikan nilai.
Ilustrasi penerapannya adalah antara lain adanya kepastian akan keterbukaan antara pihak sekolah, masyarakat, dan wali murid yang meliputi nilai, keuangan, dan kebijakan program-program yang diterapkan disekolah itu.
c. Akuntabilitas
Akuntanbilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban penyelenggaran organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenanan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu :
- Standar isi
- Standar proses
- Standar kompetensi lulusan
- Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
- Standar sarana dan prasarana
- Standar pengeloolaan
- Standar pembiayaan
- Standar penilaian pendidikan
Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru dalam pembelajaran guru harus membimbing siswa sampai pada akhirnya mencapai kompetensi yang diinginkan. Sedangkan siswa harus ada pertanggung jawaban dengan cara belajar rajin agar dapat mencapai kompetensi yang diinginkan tersebut.
Ilustrasi penerapannya antara lain setelah setiap akhir tahun kepala sekolah mengadakan rapat bersama sekolah, wali murid, dan masyarakat sekitar untuk membahas mengenai program-program yang sudah terlaksana satu tahun yang lalu dievaluasi apa keberhasilannya dan apa kekurangannya untuk memperbaiki ke tahun selanjutnya.

5. Implementasi MBS
Pelaksanaan MBS di berbagai negara dan konsep dasar MBS merupakan latar belakang perlunya implementasi MBS. implementasi MBS akan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya, antara daerah satu dengan daerah lainnya, bahkan sekolah satu dengan sekolah lainnya. Hal tersebut didasari atas perbedaan tujuan diantara suatu negara, daerah dan sekolah. Tingkat keberhasilannya pun akan berbeda-beda pula.
1Keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari ketercapaian prinsip-prinsip/ciri MBS.
1. Prinsip Partisipasi
a. Meningkatnya kontribusi/dedikasi stake holders
b. Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada sekolah
c. Meningkatnya tanggungjawab dankepedulian
d. Meningkatnya kualitas dankuantitas masukan (kritik & saran), dan
e. Keputusan benar-benar mengekspresikan aspirasi dan pendapat stakeholders.
2. Prinsip Transparansi
a. Meningkatnya keyakinan dan kepercayaan public kepada sekolah
b. Mmeningkatnya partisipasi publik terhadap penyelenggaraan sekolah
c. Bertambahnya wawasan dan pengetahuan publik terhadap penyelenggaraan sekolah, dan
d. Berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundangan.
3. Prinsip Akuntabilitas
a. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan public terhadap sekolah
b. Tumbuhnya kesadaran public tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
c. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.

6. Standart Pelayanan Minimal Pendidikan
. Yang dimaksud dengan Standar sarana dan prasarana berdasarkan PP No.19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan merupakan standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Keterkaitan SPM dengan MBS ialah SPM digunakan sebagai alat ukur/parameter yang berlaku secara nasional. Karena SPM pendidikan merupakan gambaran spesifikasi teknis pelayanan pendidikan dan merupakan bagian dari standar nasional. SPM Pendidikan memiliki sifat sederhana, mudah untuk diukur, nyata/konkrit, keterbukaan, keterjangkauan, dapat dipertanggung jawabkan, dan memiliki batas waktu pencapaian.
Contoh SPM Pendidikan pengelolaan sekolah dalam bidang sarana dan prasarana yang harus terdapat di SD/MI antara lain:
a. Kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang harus dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah,
b. Kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah.
Sebuah tingkat satuan pendidikan harus memiliki prasarana yang telah ditetapkan dalam PP No.24 tahun 2007. Berikut ini kelengkapan prasarana untuk satuan pendidikan
a.Ruang kelas
b.Ruang perpustakaan
c.Ruang pimpinan
d.Ruang guru
e.Ruang UKS
f.Ruang sirkulasi
g.Ruang konseling
h.Ruang organisasi kesiswaan
i.Ruang laboratorium IPA
j.Ruang laboratorium Fisika
k.Ruang laboratorium Kimia
l.Ruang laboratorium Biologi
m.Ruang laboratorium Komputer
n.Ruang laboratorium Bahasa
o.Ruang tata usaha
p.Tempat beribadah
q.Gudang
r.Tempat bermain/olahraga
s.Jamban
Ini adalah syarat kelengkapan minimal yang harus dimiliki oleh setiap tingkat satuan pendidikan, artinya setiap tingkat satuan pendidikan dapat memiliki lebih dari prasarana yang telah ditentukan. Prasarana tersebut dilengkapi dengan sarana seperti meja, bangku, papan tulis, lemari, buku dan media pembelajaran lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep MBS pada dasarnya mengacu pada manajamen sumber daya di tingkat sekolah yang melibatkan partisipasi masyarakat, warga sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sumber daya tersebut mencakup: kekuasaan, pengetahuan, teknologi, keuangan, manusia, material, dan waktu. Melalui MBS, sekolah memiliki kontrol yang lebih dalam mengarahkan organisasi sekolah ke depan, sesuai dengan tujuan dan strategi yang telah ditetapkan sekolah. Di samping itu, sekolah juga memiliki kontrol terhadap keuangan sekolah yang dapat dialokasikan untuk pengembangan sumber daya manusia, dan peningkatan proses pembelajaran. Sekolah juga mempunyai tanggung jawab terhadap pengembangan kurikulum, dan bagaimana menggunakan material dalam proses pembelajaran.
B. Saran
Saran dari kelompok kami adalah pemerintah memberikan fleksibilitas kepada sekolah dalam penggunaan sumber daya dan kepala sekolah memberikan kesempatan partisipasi yang lebih besar kepada guru, orang tua, dan bekas siswa (alumni) di dalam pengembangan keputusan sekolah.

Kamis, 14 Oktober 2010

Tugas
Manajemen Berbasis Sekolah
Dosen Pengampu Prof. Dr. Slameto, M.Pd





Disusun oleh :
David Kristian S. (292008025)
Lilik Sutarminingsih (292008076)
M. Agung Setyo N. (292008124)
Gregorius Ivan D.J. (292008159)
Yahya Jaka S. (292008172)
Suti Rahayu (292008192)


PROGAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010
ABSTRAKSI


Abstraksi:

Sekarang ini pemerintah baru sadar bahwa untuk membangun suatu bangsa adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Kenapa setelah lebih dari setengah abad pemerintah baru sadar akan hal itu. Tapi ini merupakan sinyal baik untuk dunia pendidikan dan pastinya kemajuan untuk suatu bangsa. Itulah yang sedang digarap pemerintah lewat Diknas selaku departermen pendidikan yang menangani pendidikan bangsa. Salah satunya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah manajemen pendidikan yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara. Salah satunya di Indonesia dan penerapan MBS disesuaikan lebih dahulu dengan Sistem Pendidikan di Indonesia. MBS diterapkan dengan tujuan agar sekolah diberi wewenang untuk mengelola sekolah masing – masing dan semaksimal mungkin sesuai dengan visi dan misi sekolah masing – masing agar mutu pendidikan menjadi meningkat. Jika dulu sentralistik sekarang dituntut disentralistik dan ini menjadi pekerjaan rumah yang akan menghambat pelaksanaan MBS, kesiapan, kesiagaan, dan kreativitas stakeholder sangat berpengaruh dalam pelaksanaan MBS.








Kata Kunci : Implementasi MBS, Mutu Pendidikan

PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Masalah

Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia.

Namun saat ini dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih berorintasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menjadi pesimis terhadap sekolah.

Dengan latar belakang tesebut jelas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan penidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi peserta didik karena MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah.











2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan ini dirumuskan Apakah Implementasi MBS memiliki hubungan dengan peningkatan mutu pendidikan?

3. Manfaat

Hasil penelitian terhadap implementasi MBS dan kaitannya dengan peningkatan
mutu pendidikan ini diharapkan memberikan sejumlah manfaat, antara
lain:
1. Secara teoritis / akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan
2. Secara Praktis, dapat memberikan masukan bagi sekolah untuk mengetahui peningkatan mutu pendidikan melalui implementasi MBS.

4. Tujuan

Mengetahui sejarah MBS dan mengimplementasikannya ke sekolah.

5. Metode pengembangan
Metode yang digunakan yaitu dengan kajian teori dan kerangka berfikir.

Implementasi MBS
MBS di Kanada
Di Kanada model MBS yang diterapkan lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan layanan pendidikan. Pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.

MBS di Indonesia

Pelaksanaan MBS di Indonesia tergolong masih asing kedengarannya, karena masih baru dalam pelaksanaannya dan karena perkembangan dunia pendidikan Indonesia yang semakin hari dituntut untuk mengikuti pola perkembangan jaman Globalisasi. Dan penggodokan dari semua segi aspek pendidikan menjadi rintangan tersendiri oleh pemerintah. Alhasil pincang sana pincang sini untuk melaksanaakan MBS. Tujuan untuk lebih menekankan persoalan kepada implementasi MBS yang tepat di sekolah. Penerapan MBS di Indonesia juga memiliki dasar hukum yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan serta pengelolaan sekolah dengan menggunakan prinsip MBS secara resmi mulai diberlakukan pada 8 Juli 2003. Pada sebelumnya, pemerintah sudah melakukan dan melaksanakan berbagai program rintisan di semua jenjang pendidikan berkenaan dengan penggunaan model MBS melalui berbagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan dapat meningkatkan peran serta dan partisipasi dari masyarakat. Pada tahun 1999 dengan melakukan kerjasama dengan PBB (UNESCO dan UNICEF) program pelaksanaan MBS di Indonesia telah dirintis di 124 SD/MI yang tersebar di 7 kabupaten antara lain Propinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Wonosobo. Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Probolinggo. Propinsi Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Bontang, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Kota Kupang Pada tahun 2002 pemerintah Selandia Baru memberikan bantuan pendanaan untuk menyebarkan dan memantapkan program sebelumnya di 7 kabupaten/kota rintisan dan untuk mendiseminasikan program ke 7 kabupaten yang lain yang terletak di Indonesia Timur, yaitu Propinsi Papua dan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah SD/MI yang berkembang melaksanakan program MBS menjadi 741 sekolah. Diseminasi bantuan program yang dilakukan UNICEF di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank, bantuan juga diberikan oleh AusAID (lembaga bantuan Australia) hingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang kedalam 40 kabupaten pada 9 propinsi dengan total SD/MI 1479 sekolah


MBS di Hongkong

Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.

Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (e) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.

MBS di Amerika

Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat menekankan kepada partisipasi dalam pendidikan dari berbagai pihak. Manajemen mengandung arti optimalisasi sumber-sumber daya atau pengelolaan dan pengendalian. Persoalannya adalah pengelolaan dan pengendalian seperti apa yang kini dibutuhkan oleh sekolah ?

Beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah, antara lain ; tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap hasil pendidikan yang disebabkan adanya perubahan perkembangan kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan budaya. Semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan kebutuhan kehidupan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntutan tersebut bermuara kepada pndidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
8 motif penerapan MBS
Delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah. Dan yang kami ambil yaitu motif akuntabilitas karena Akuntabilitas adalah kewajiban untuk mem berikan pertanggungjawaban penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggung-jawaban.

Penerapan pelaksanaan MBS terdapat kendala-kendala. Salah satu kendalanya adalah peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini masih sangat minim. Dan pihak yang bertanggung jawab atas permasalahan ini yaitu peran orang tua , guru dan kepala sekolah.karena guru adalah yang paling mengerti keadaan siswa disekolah. Dan kepala sekolah sebagai pendamping. Kendala-kendala tersebut masih bisa diminimalisir dengan guru dan kepala sekolah dengan pendekatan melalui rapat wali murid yang diadakan sesuai dengan kebutuhan.

Partisipatif adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan disekolah. Ilutrasinya kepala sekolah tidak mungkin mengambil keputusan sendiri tentang penilaian sekolahnya, maka dibutuhkan guru dan stakeholder agar bisa menilai sekolahnya layak atau tidak untuk melaksanakan kebijakan yang diambil dan tidak mengabaikan peran stakeholder. Di dalam kelas partisipatif disini yaitu ditujukan oleh siswa. Peran serta siswa sangat diperlukan untuk menunjang kesuksesan dalam pembelajaran. Atau materi tersebut bisa diterima siswa atau tidak.

Transparansi adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Transparansi sama dengan polos, apaa danya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ilustrasi, sekolah tidak memanipulasi data tentang sekolah atau data keuangan kepada semua orang . Atau Bersifat terang -terangan dan terbuka. Di dalam kelas guru harus memberi penilaian kepada siswa secara obyektif bukan menurut keinginan guru sendiri.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggung jawaban.

MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah
b. Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
c. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional
d. Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional

Karakteristik MBS bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi.

Latar belakang Implementasi MBS yaitu rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Antara lain memberikan pelatihan dan peningkatan mutu pendidikan nasional . Indikasi tercapainya implementasi tersebut adalah kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung dengan baik, berdaya guna, dan berhasil guna . contoh peningkatan tersebut yaitu seperti; meningkatkan belajar siswa, meningkatkan standar hasil belajar siswa, meningkatkan penyelenggaraan pendidikan berbasis system (utuh dan benar). Sehingga sekolah sebagai system terdiri dari konteks, input, proses, output, dan outcome.





PENUTUP

KESIMPULAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari School Based Management , adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk me-redisain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.Manajemen Berbasis Sekolah merubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders ). (Chapman, J, 1990).
Dengan mengalihkan wewenang dalam keputusan dari pemerintah tingkat Pusat ke tingkat Sekolah, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Pada pelaksanannya disadari bahwa mengimplementasikan pemberian kewenangan kepala sekolah melalui pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan proses dan waktu.

SARAN
Saran dari kami adalah pentingnya belajar dan belajar, seorang gurupun harus selalu belajar untuk dapat bersaing di jaman globalisasi ini. Dimana suatu saat perkembangan pendidikan yang berubah-ubah dan tuntutan jaman, stakeholder juga mengikuti kemana arah pendidikan ini akan dibawa arus.




Daftar pustaka
Ibtisam Abu Duhou, School Based Management, (Jakarta:Kencana 2004) h.7
E. Mulyasa, Manajemen berbasis Sekolah, (Jakarta:Rosda 2004), cet ke.7, h.24
Nanang Fatah, Konsep Manajemen berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah . (Bandung:Pustaka Bani Quraisy 2003) h.8

Rabu, 13 Oktober 2010

Artikel MBS Kelompok 2

TUGAS
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dosen : Prof. Dr. Slameto, M.Pd.


DISUSUN OLEH:
1. Lilik Suryani (292008017)
2. Dhimas Luthfi Herjunanto (292008021)
3. Ulfi Sindu Nugroho (292008049)
4. Ida Sulistyarini (292008064)
5. Prisky Chitika (292008129)
6. Tri Handayani (292008151)
Kelas : D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010

ABSTRAKSI
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah manajemen pendidikan yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara. Salah satunya di Indonesia dan penerapan MBS disesuaikan lebih dahulu dengan Sistem Pendidikan di Indonesia. MBS diterapkan dengan tujuan agar sekolah diberi wewenang untuk mengelola sekolah masing – masing dan semaksimal mungkin sesuai dengan visi dan misi sekolah masing – masing agar mutu pendidikan menjadi meningkat. Dalam model MBS keputusan tidak hanya ditangan kepala sekolah, namun dilakukan secara kolektif dan dilakukan bersama – sama dengan guru, dibantu dengan komite sekolah. Untuk mendukung terlaksananya MBS maka satuan pendidikan yang ada disekolah seperti guru, dan kepala sekolah perlu mengetahui alasan, landasan, dan bagaimana menerapkan MBS disekolah masing – masing.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu diantara tujuan pendidikan nasional yang memiliki keterkaitan dengan dengan pilar kedua rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) adalah mutu pendidikan nasional. Persoalan yang sering terjadi dengan peningkatan mutu pendidikan adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang lebih mementingkan input dan output dibandingkan melihat proses dan aspek lainnya, tingkat keberdayaan sekolah dalam menjalankan fungsi manajemen di sekolah masing – masing, peran serta masyarakat yang masih rendah, serta peralihan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik menjadi desentralistik.
Untuk mengatasi hal tersebut dan seiring dengan era otonomi daerah dengan asas desentralisasinya, peningkatan mutu dan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dari seluruh komponen pendidikan dan pemberdayaan komponen pendidikan. Pemerintah juga telah menerapkan MBS yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola dan juga meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing – masing. Pengalaman disejumlah negara yang telah menerapkan MBS seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Hongkong dan beberapa sekolah yang menjadi contoh penerapan MBS memberikan gambaran bahwa penerapan MBS di sekolah merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada dan di Indonesia
2. Lima Kebijakan pokok SMI di Hongkong apakah sudah menjawab masalah pendidikan di Hongkong
3. Pengertian Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat dan ilustrasinya
4. 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia, dan satu motif terpenting dari penerapan MBS di sekolah
5. Kendala penerapan MBS di Sekolah dan pihak mana saja yang paling banyak mengubah peranannya dalam pengelolaan pendidikan
6. Saran – saran mengenai pemecahan kendala-kendala pelaksanaan MBS
7. Karakterisrik MBS secara keseluruhan]
8. Pengertian partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam Prinsip – Prinsip Good Governance
9. Ilustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam Penerapan MBS dan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas
10. Latar belakang perlunya implementasi MBS
11. Contoh Kriteria Keberhasilan Implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah
12. Keterkaitan Antara Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan dengan MBS
13. Contoh Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Pengelolaan Sekolah dan Bidang Sarana dan Prasarana Sekolah Yang Harus Ada di SD/MI
C. Tujuan
Tujuan umum dari pelaksanaan MBS adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan model untuk memberdayakan sekolah melalui pelaksanaan MBS
b. Mengadakan pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)
c. Peran serta masyarakat didalam lingkungan sekolah yang menyayangi anak – anak
Yang menjadi tujuan khusus pelaksanaan MBS adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kemampuan personil pendidikan dalam MBS untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah
b. Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam penyelenggaraan PAKEM di sekolah
c. Meningkatkan peran serta masyarakat untuk meningkatkan kinerja dan kemajuan sekolah

BAB II
PEMBAHASAN
Penerapan MBS di Indonesia memiliki dasar kenapa harus diterapkan, yaitu karena berdasarkan mutu pendidikan di Indonesia yang masih rendah. Dan karena itu, pemerintah menerapkan MBS di Indonesia karena anggapan pemerintah bahwa MBS adalah cara yang paling efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. MBS menekankan pada 3 komponen utama yaitu: Manajemen Sekolah (MS), Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), serta Peran Serta Masyarakat (PSM). Ketiga komponen utama MBS berikut tertuang didalam Program Pendidikan Nasional 2000 – 2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan berdasarkan MBS dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
A. Pelaksanaan MBS di berbagai negara
a. Pelaksanaan MBS di Kanada
Di negara lain seperti di Kanada telah berkembang dengan baik model MBS ini. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decission Making artinya pengambilan keputusan diserahkan kepada tingkat sekolah masing – masing. Desentralisasi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada sekolah antara lain: alokasi sumber daya bagi staff pengajar dan administrasi, peralatan, dan pelayanan. Di Kanada sendiri, pelaksanaan MBS sudah dimulai sejak pertengahan tahun 1970. Ciri – ciri pelaksanaan MBS di Kanada adalah sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran pendidikan dimasukkan kedalam anggaran sekolah, adanya program efektifitas guru serta adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja, setiap tahun diadakan survey pendapat dilakukan oleh para siswa, guru, kepala kantor, staff kepala wilayah, dan orang tua memungkinkan mereka memberikan rangking tingkat kepuasan mereka terhadap sekolah serta pengelolaan dan hasil pendidikan.
b. Pelaksanaan MBS di Indonesia
Pelaksanaan MBS di Indonesia sendiri bukanlah merupakan hal yang baru karena walaupun sebelumnya belum menggunakan istilah MBS, sekolah maupun madrasah yang pengelolaannya dikelola oleh pihak swasta, baik yang mengelola adalah yayasan, pesantren, maupun badan hukum, telah menerapkan prinsip – prinsip MBS didalam pelaksanaannya. Formulasi MBS di Indonesia memiliki
tujuan untuk lebih menekankan persoalan kepada implementasi MBS yang tepat di sekolah. Penerapan MBS di Indonesia juga memiliki dasar hukum yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan serta pengelolaan sekolah dengan menggunakan prinsip MBS secara resmi mulai diberlakukan pada 8 Juli 2003. Pada sebelumnya, pemerintah sudah melakukan dan melaksanakan berbagai program rintisan di semua jenjang pendidikan berkenaan dengan penggunaan model MBS melalui berbagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan dapat meningkatkan peran serta dan partisipasi dari masyarakat. Pada tahun 1999 dengan melakukan kerjasama dengan PBB (UNESCO dan UNICEF) program pelaksanaan MBS di Indonesia telah dirintis di 124 SD/MI yang tersebar di 7 kabupaten antara lain Propinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Wonosobo. Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Probolinggo. Propinsi Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Bontang, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Kota Kupang Pada tahun 2002 pemerintah Selandia Baru memberikan bantuan pendanaan untuk menyebarkan dan memantapkan program sebelumnya di 7 kabupaten/kota rintisan dan untuk mendiseminasikan program ke 7 kabupaten yang lain yang terletak di Indonesia Timur, yaitu Propinsi Papua dan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah SD/MI yang berkembang melaksanakan program MBS menjadi 741 sekolah. Diseminasi bantuan program yang dilakukan UNICEF di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank, bantuan juga diberikan oleh AusAID (lembaga bantuan Australia) hingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang kedalam 40 kabupaten pada 9 propinsi dengan total SD/MI 1479 sekolah.
c. Pelaksanaan MBS di Hongkong
Program SMI yang ada di Hongkong lebih menekankan pada inisiatif sekolah dalam manajemen sekolah. Lahirnya SMI sendiri untuk memecahkan masalah – masalah pendidikan di Hongkong yaitu: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya peran dan pemahaman tentang tanggung jawab, tidak terdapatnya program pengukuran kemampuan, menekankan fungsi kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja yang bertanggung jawab dan akuntabilitas, menekankan pada biaya margin daripada efektivitas nilai uang dan biaya. Menurut Cheng (1996:44) memberikan pernyataan bahwa pelaksanaan SMI didasarkan oleh usaha untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan dengan cara memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, perbaikan fasilitas belajar mengajar seperti program remidial, program bimbingan siswa, serta beberapa penataran dalam jabatan. Kebijakan ini pelan – pelan mengubah model manajemen yang sifatnya sentralistik dan memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah tersebut. Kerangka acuan program SMI berisikan 5 kelompok kebijakan yaitu antara lain:
a. Peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan
b. Peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah serta kepala sekolah
c. Fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
d. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
e. Sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas
Model MBS di Hongkong menekankan pada pentingnya inisitif dari sumber daya sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama ini diterapkan. Inisiatif sekolah yang diberikan ini. Hal ini harus juga dilakukan dan diterapkan dengan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya dalam anggaran yang didapat oleh sekolah, namun juga dalam penentuan dan pengukuran hasil belajar siswa. Dari sini dapat dilihat bahwa program SMI yang diberlakukan di Hongkong sudah mampu untuk menjawab permasalahan pendidikan di Hongkong.
d. Pelaksanaan MBS di Amerika Serikat
Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat menekankan kepada partisipasi dalam pendidikan dari berbagai pihak. Model MBS di Amerika Serikat walaupun terdapat perbedaan pelaksanaan di beberapa negara bagian mempunyai dua ciri utama dalam reformasi pendidikan sebagai implementasi dari pelaksanaan MBS, yaitu
a. Desentralisasi Administratif
Disini dapat dilihat terdapat perubahan yaitu kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas tertentu yang dilaksanakan dan dilakukan oleh kepala sekolah dan guru di sekolah. Kantor pusat (Departemen Pendidikan) menyerahkan kewenangan ke bawah (Sekolah), namun sekolah masih bertanggung jawab keatas (Departemen Pendidikan)
b. Manajemen Berbasis Setempat (Lokal)
Adalah suatu struktur yang memberikan kewenangan kepada para orang tua, kepala sekolah dan guru ditiap sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, dan menggaji serta memberhentikan staf sekolah.
B. Motif Penerapan MBS di Indonesia
Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia antara lain:
1. motif ekonomi,
2. Motif profesional,
3. Motif politik,
4. Motif efisiensi administrasi,
5. Motif finansial,
6. Motif prestasi siswa,
7. Motif akuntabilitas,
8. Motif efektivitas sekolah.
Menurut kami motif terpenting dari penerapan MBS di satu sekolah adalah motif efektivitas sekolah karena hal ini merupakan yang utama dalam pengenalan MBS. Winkler & Gershberg (1999) berhipotesis bahwa beberapa komponen kunci sekolah efektif boleh jadi dipengaruhi oleh implementasi MBS, yang pada akhirnya dapat meningkatkan komponen-komponen itu untuk perbaikan pembelajaran. MBS mendorong ke arah peningkatan karakteristik kunci tentang sekolah efektif yang mencakup kepemimpinan yang kuat, guru-guru yang terampil dan berkomitmen, berfokus pada peningkatan mutu pembelajaran, dan adanya rasa tanggung jawab terhadap hasil.
Hal – hal yang masih sering menjadi kendala dalam pelaksanaan MBS adalah sebagai berikut:
a. Rendahnya prestasi akademik, daya kreatifitas, dan sikap kemandirian siswa
b. Proses belajar mengajar yang kurang mendukung
c. Kurangnya jumlah dan rendahnya mutu dari sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah
d. Kurangnya peran serta masyarakat dalam mendukung kemajuan sekolah
Dari sini kita dapat melihat yang harus mengubah peranannya adalah guru serta masyarakat, karena guru haruslah bisa memotivasi siswanya dan tidak hanya menjejali siswa dengan pengetahuan yang terkadang memaksa tanpa melihat daya kreatifitas dan kemandirian yang dimiliki oleh siswa. Masyarakat juga harus bisa membantu sekolah agar lebih baik, tanpa dukungan dari semua pihak, sekolah tidak akan pernah maju dan bisa – bisa sekolah malah akan tutup karena tidak adanya dukungan dari masyarakat terutama orang tua siswa. Saran dari kami untuk meminimalisir kendala dalam pelaksanaan MBS di sekolah adalah adanya dukungan dari semua komponen – komponen di sekolah demi kemajuan sekolah. Tanpa adanya dukungan dari semua pihak (siswa, guru, kepala sekolah, pemerintah, masyarakat, dan orang tua) semuanya hanya akan sia – sia belaka.
C. Karakteristik MBS
Menurut Nurkholis (2003:56), MBS memiliki 8 karakteristik antara lain:
1. Sekolah dengan menerapkan model MBS memiliki misi atau cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di dalam aktivitas pendidikan dan memberi arah kerja. Misi ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap fungsi dan efektivitas sekolah, karena dengan misi ini warga sekolah dapat mengembangkan budaya organisasi sekolah yang tepat, membangun komitmen yang tinggi terhadap sekolah, dan mempunyai insiatif untuk memberikan tingkat layanan pendidikan yang lebih baik.
2. Aktivitas pendidikan dijalankan berdasarkan karakteristik kebutuhan dan situasi sekolah. Hakikat aktivitas sangat penting bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, karena secara tidak langsung memperkenalkan perubahan manajemen sekolah dari menajemen kontrol eksternal menjadi model berbasis sekolah.
3. Terjadinya proses perubahan strategi manajemen yang menyangkut hakikat manusia, organisasi sekolah, gaya pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, penggunaan kekuasaan, dan keterampilan-keterampilan manajemen. Oleh karena itu dalam konteks pelaksanaan MBS, perubahan strategi manajemen lebih memandang pada apek pengembangan yang tepat dan relevan dengan kebutuhan sekolah.
4. Keleluasaan dan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, guna memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi, baik tenaga kependidikan, keuangan dan sebagainya.
5. MBS menuntut peran aktif sekolah, adiministrator sekolah, guru, orang tua, dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan di sekolah. Dengan MBS sekolah dapat mengembangkan siswa dan guru sesuai dengan karakteristik sekolah masing-masing. Dalam konteks ini, sekolah berperan mengembangkan insiatif, memecahkan masalah, dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk menfasilitasi
efektivitas pembelajaran. Demikian halnya dengan unsur-unsur lain seperti guru, orang tua, komite sekolah, administrator sekolah, dinas pendidikan, dan sebagainya sesuai dengan perannya masing-masing.
6. MBS menekankan hubungan antarmanusia yang cenderung terbuka, bekerja sama, semangat tim, dan komitmen yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, iklmi orgnanisasi cenderung mengarah ke tipe komitmen sehingga efektivitas sekolah dapat tercapai.
7. Peran administrator sangat penting dalam kerangka MBS, termasuk di dalamnya kualitas yang dimiliki administrator. Kedelapan, dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator multitingkat dan multisegi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu, penilaian efektivitas sekolah hatus memperhatikan multitingkat, yaitu pada tingkat sekolah, kelompok, dan individu, serta indikator multisegi yaitu input, proses dan output sekolah serta perkembangan akademik siswa.
Sedangkan menurut MPMBS, karakteristik MPMBS dikategorikan menjadi input, proses, dan output (Depdiknas, 2002). Selanjutnya, uraian singkat berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
Menurut MPMBS, karakteristik MPMBS dikategorikan menjadi input, proses, dan output (Depdiknas, 2002). Selanjutnya, uraian singkat berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
D. Prinsip – Prinsip Good Governance
a. Partisipasi
Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
b. Transparansi
Keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh sekolah (keterbukaan dalam program dan keuangan).
c. Akuntabilitas
Pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka.
Contoh dalam penerapan MBS
a. Partisipasi
Mengadakan pertemuan dengan stake holder sekolah setiap 1 bulan sekali untuk melakukan monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pendidikan disekolah tersebut. dan pada saat itu semua pihak memberikan solusi – solusi untuk menghadapi permasalahan yang sedang dialami oleh sekolah.
b. Transparansi
Sekolah menyediakan fasilitas online untuk keterbukaan sekolah kepada masyarakat terutama orang tua siswa, misalnya dalam hal keterbukaan keuangan sekolah dan laporan prestasi siswa dari guru kelas masing – masing.
c. Akuntabilitas
Setelah sekolah melakukan kegiatannya selama 1 periode/tahun, pihak sekolah mengadakan rapat akhir tahun dengan mengundang orang tua siswa untuk melaporkan hasil dan perolehan apa saja yang telah diperoleh oleh sekolah dalam hal sarana dan prasarana sekolah, pemeliharaan sekolah, pengelolaan dan pembiayaan sekolah, serta penilaian sekolah terhadap siswanya.
Contoh dalam pelaksanaan pembelajaran didalam kelas
a. Partisipasi
Guru menerapkan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Guru memberikan kesempatan kepada siswanya untuk berkreatif dalam kelasnya dan guru membimbing siswa tersebut agar siswa tersebut kekreatifitasannya dapat lebih terarah dan tentunya tidak memaksakan kehendak guru kepada siswanya.
b. Transparansi
Guru dalam memberikan penilaian kepada siswanya haruslah adil dan tidak pilih kasih. Guru harus benar – benar memberikan nilai sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh siswa tanpa memandang apapun (objektif).
c. Transparansi
Dalam mengadakan pembelajaran dalam kelas, guru harus bisa bertanggung jawab akan proses dalam kelas yang dia ampu. Misalnya guru memberikan pelajaran haruslah sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Sedangkan tanggung jawab siswa dalam pembelajaran dikelas adalah belajar yang sungguh – sungguh dan berusaha untuk mendapatkan prestasi yang bagus.
E. Latar belakang perlunya implementasi MBS
Yang menjadi latar belakang perlunya implementasi MBS adalah pelaksanaan MBS di berbagai negara dan konsep dasar MBS. implementasi MBS akan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya, antara daerah satu dengan daerah lainnya, bahkan sekolah satu dengan sekolah lainnya. Hal tersebut didasari atas perbedaan tujuan diantara suatu negara, daerah dan sekolah. Tingkat keberhasilannya pun akan berbeda-beda pula.
F. Contoh Kriteria Keberhasilan Implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah
Berikut ini merupakan contoh – contoh keberhasilan implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah:
1. Jumlah peserta didik yang mendapatkan pelayanan pendidikan semakin meningkat
2. Kualitas pelayanan pendidikan menjadi semakin lebih baik, dan hal ini berdampak kepada peningkatan prestasi akademik dan non akademik peserta didik
3. Tingkat peserta didik yang tinggal kelas menurun serta produktivitas sekolah semakin lebih baik. Artinya, rasio antara jumlah peserta didik yang mendaftar ke sekolah tersebut dengan jumlah peserta didik yang lulus menjadi lebih besar.
4. Relevansi pendidikan semakin baik, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan masyarakat dengan tokoh masyarakat, baik dari aspek pengembangan kurikulum dan sarana dan prasarana sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat
5. Terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan, karena penentuan biaya pendidikan (biaya sekolah) tidak dilakukan dengan model pukul rata (semua sama), namun berdasarkan kepada kemampuan ekonomi keluarga peserta didik
6. Peningkatan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah, baik yang menyangkut keputusan instruksional maupun organisasional.
7. Iklim dan budaya kerja di sekolah semakin lebih baik, yang pada akhirnya berdampak positif dan baik terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah
8. Kesejahteraan guru dan staf sekolah lebih baik
9. Terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
G. Keterkaitan Antara Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan dengan MBS
Keterkaitan antara SPM Pendidikan dengan MBS adalah SPM digunakan sebagai alat ukur/parameter yang berlaku secara nasional. Karena SPM pendidikan merupakan gambaran spesifikasi teknis pelayanan pendidikan dan merupakan bagian dari standar nasional. SPM Pendidikan memiliki sifat sederhana, mudah untuk diukur, nyata/konkrit, keterbukaan, keterjangkauan, dapat dipertanggung jawabkan, dan memiliki batas waktu pencapaian.
H. Contoh Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Pengelolaan Sekolah dan Bidang Sarana dan Prasarana Sekolah Yang Harus Ada di SD/MI
Yang dimaksud dengan Standar sarana dan prasarana berdasarkan PP No.19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan merupakan standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Contoh SPM Pendidikan pengelolaan sekolah dan bidang sarana dan prasarana yang harus terdapat di SD/MI antara lain:
Standar sarana dan prasarana ini mencakup:
1. Kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah,
2. Kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah.
Fasilitas atau benda-benda sarana pendidikan dapat ditinjau dari fungsi, jenis atau sifatnya, yaitu:
1. Ditinjau dari fungsinya terhadap PBM, prasarana pendidikan berfungsi tidak langsung (kehadirannya tidak sangat menentukan). Sedangkan sarana pendidikan berfungsi langsung (kehadirannya sangat menentukan) terhadap PBM.
2. Ditinjau dari jenisnya, fasilitas pendidikan dapat dibedakan menjadi fasilitas fisik dan fasilitas nonfisik.
3. Ditinjau dari sifat barangnya, benda-benda pendidikan dapat dibedakan menjadi barang bergerak dan barang tidak bergerak, yang kesemuanya dapat mendukung pelaksanaan tugas.
Secara singkat ketiga tinjauan fasilitas atau benda-benda pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ditinjau dari fungsinya terhadap Proses Belajar Mengajar (PBM), prasarana pendidikan berfungsi tidak langsung (kehadirannya tidak sangat menentukan). Termasuk dalam prasarana pendidikan adalah tanah, halaman, pagar, tanaman, gedung/bangunan sekolah, jaringan jalan, air, listrik, telepon, serta perabot/mobiler. Sedangkan sarana pendidikan berfungsi langsung (kehadirannya sangat menentukan) terhadap PBM, seperti alat pelajaran, alat peraga, alat praktek dan media pendidikan.
2. Ditinjau dari jenisnya, fasilitas pendidikan dapat dibedakan menjadi fasilitas fisik dan fasilitas nonfisik. Fasilitas fisik atau fasilitas material yaitu segala sesuatu yang berwujud benda mati atau dibendakan yang mempunyai peran untuk memudahkan atau melancarkan sesuatu usaha, seperti kendaraan, mesin tulis, komputer, perabot, alat peraga, model, media, dan sebagainya. Fasilitas nonfisik yakni sesuatu yang bukan benda mati, atau kurang dapat disebut benda atau dibendakan, yang mempunyai peranan untuk memudahkan atau melancarkan sesuatu usaha seperti manusia, jasa, uang.
3. Ditinjau dari sifat barangnya, benda-benda pendidikan dapat dibedakan menjadi barang bergerak dan barang tidak bergerak, yang kesemuanya dapat mendukung pelaksanaan tugas.
4. Barang bergerak atau barang berpindah/dipindahkan dikelompokkan menjadi barang habis-pakai dan barang tak habis pakai.
i. Barang habis-pakai ialah barang yang susut volumenya pada waktu dipergunakan, dan dalam jangka waktu tertentu barang tersebut dapat susut terus sampai habis atau tidak berfungsi lagi, seperti kapur tukis, tinta, kertas, spidol, penghapus, sapu dan sebagainya. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/MK/V/1971 tanggal 13 April 1971).
ii. Barang tak-habis-pakai ialah barang-barang yang dapat dipakai berulang kali serta tidak susut volumenya semasa digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama, tetapi tetap memerlukan perawatan agar selalu siap-pakai untuk pelaksanaan tugas, seperti mesin tulis, komputer, mesin stensil, kendaraan, perabot, media pendidikan dan sebagainya.
5. Barang tidak bergerak ialah barang yang tidak berpindah-pindah letaknya atau tidak bisa dipidahkan, seperti tanah, bangunan/gedung, sumur, menara air, dan sebagainya.
Sedangkan jenis-jenis prasarana pendidikan di sekolah bisa diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
a) Prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan untuk proses belajar mengajar, seperti ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktek keterampilan, dan ruang laboratorium.
b) Prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar mengajar, tetapi secara langsung sangat menunjang terjadinya proses belajar mengajar. Beberapa contoh tentang prasarana sekolah jenis terakhir tersebut di antaranya adalah ruang kantor, kantin sekolah, tanah dan jalan menuju sekolah, kamar kecil, ruang usaha kesehatan sekolah, ruang guru, ruang kepala sekolah, dan tempat parkir kendaraan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Latar belakang perlunya implementasi MBS adalah pelaksanaan MBS di berbagai negara dan konsep dasar MBS. implementasi MBS akan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya. MBS memiliki 3 pilar utama yaitu Manajemen Sekolah (MS), Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), serta Peran Serta Masyarakat (PSM). Jika ketiga pilar ini tidak berjalan maka pelaksanaan MBS di sekolah tersebut akan kurang maksimal. MBS juga mensyaratkan didalamnya bahwa sekolah tersebut haruslah partisipatif, transparan, dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Pelaksaaan MBS yang baik juga didasarkan adanya peran monitoring dan evaluasi dari semua pihak (stakeholder). Perubahan dalam MBS juga mensyaratkan adanya dukungan dan partisipasi dari stakeholder sekolah. Dan pada akhirnya sekolah yang telah menerapkan MBS dengan baik adalah sekolah yang mengalami peningkatan dalam kinerja sekolahnya dan dilandaskan kepada prinsip – prinsip MBS yang baik (kualitas, efektifitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, dan surplus pendanaan sekolah.
B. Saran
Saran dari kami adalah pentingnya mempelajari manajemen sekolah. Karena sekarang adalah jamannya otonomi. Guru juga dituntut agar profesional dalam mengajar dan menjalankan manajemen sekolahnya. Tanpa kesadaran tersebut sulit sekolah itu akan maju. Pihak sekolah juga harus belajar mengetahui apakah yang diinginkan, dibutuhkan oleh siswa dan masyarakat disekitar sekolah. Dan tentunya untuk memenuhi dan mengerti MBS sekolah harus memenuhi dua hal berikut: profesional dan manajerial. Dan tentunya harus juga mengerti dan paham tentang peserta didik dan prinsip – prinsip dalam pendidikan agar segala keputusan yang akan dibuat sesuai dengan pertimbangan dan aturan pendidikan yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
http://niningsulistyoningrum.wordpress.com/2010/05/15/standar-sarana-dan-prasarana/
Syaifuddin, Mohammad dkk. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas
Permendiknas no.24 th.2007 tentang standar sarana dan prasarana pendidikan.
http://gurutrenggalek.blogspot.com/2009/12/implementasi-mbs-di-indonesia.html
MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH







1.Merinda Dian P. 292008001
2.Setyo Wahyuningsih 292008071
3.Rini Yulianti 292008091
4.Vidya Mulyawati 292008167
5.Endriyani Esti F. 292008188
6.Watiningsih 292008614
Kelas D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010

Abstrak
Salah satu permasalahan pendidikan yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Dari berbagai pengamatan dan analisis, faktor - faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan adalah penyelenggaraan pendidikan nasional yang selama ini dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung kepada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sangat panjang, dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan, sedangkan sekolah hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan. Kemudian minimnya peran serta masyarakat (PSM), terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Kemudian, kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang menggunakan pendekatan “input-output analysis” yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Berdasarkan kenyataan di atas, tentu saja perlu diadakan upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan, salah satunya adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan mengalihkan kewenangan pengambilan keputusan dari pusat ke masing-masing sekolah. Keberhasilan sekolah dalam melaksanakan program pendidikan dan pengembangannya perlu didukung dengan efektifitas kepemimpinan pendidikan yang dilakukan oleh eksekutif pendidikan, khususnya kepala sekolah.
Kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan MBS di sekolah. Sebagai seorang edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator (EMASLIM). kepala sekolah bertanggungjawab dalam membina dan membantu guru yang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan program MBS. Kemampuan dalam menggerakkan guru dalam mencapai tujuan MBS merupakan faktor penentu dalam keberhasilan pelaksanaan MBS.
Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah terjadinya transfer otoritas atau wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sekolah dari pemerintah pusat ke tingkat sekolah. Otoritas dan tanggung jawab meliputi aspek-aspek pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan pemeliharaan prasarana dan sarana sekolah, pengelolaan anggaran sekolah, dan pengelolaan monitoring & evaluasi sekolah. Penelitian ini ingin mengetahui otoritas dan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintah, sekolah dan komite sekolah dalam pengelolaan sekolah.
Site Based Management (Manajemen berbasis lokasi) yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan. Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian.















PENDAHULUAN
Latar belakang
MBS di Indonesia muncul karena fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini ditandai dengan adanya beberapa indicator, seperti pelajar dan mahasiswa Indonesia tidak dapat bersaing di taraf internasional, tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasaran kerja nasional ataupun internasional dan yang paling parah lagi lulusan pendidikan kita tidak dapat membentuk manusia yang bertanggungjawab. Dengan munculnya desakan dan kritikan dari masyarakat luas memaksa pemegang otoritas pendidikan untuk mereformasi dirinya sendiri. Sebagaimana dunia pendidikan dewasa ini memakai caranya dengan pilihan model MBS.
Seiring dengan upaya reformasi di bidang pendidikan tersebut, secara nasional juga sedang diupayakan reformasi sistem administrasi yang dikenal dengan sistem pemerintahan daerah melelui UU No. 22 tahun 1999. Namun sebenarnya landasan hukum MBS bukanlah UU tersebut, karena desentralisasi berdasar UU itu hanya sampai pada tingkat pemerintah kabupaten atau kota. Sementara itu desentralisasi pendidikan model MBS langsung ke tingkat sekolah. Munculnya UU No. 22 tahun 1999 tersebut membawa dampak yang positif ataupun negatif. Pertama, dampak positif akan terjadi apabila Walikota atau Bupati kemudian mengerti desentralisasi model MBS ini sehingga bersedia melimpahkan kekuasaan dan kewenangannya kepada sekolah secara langsung. Dengan demikian birokrasi penyelenggara pendidikan akan semakin pendek, yaitu sekolah dengan kabupaten atau kota saja, bukan dengan pemerintah pusat. Kedua, dampak negatifnya akan terjadi apabila bupati atau walikota menggunakan aji mumpung atas kekuasaannya dalam bidang pendidikan sehingga ingin menguasai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan di daerah tersebut. Apabila hal itu terjadi maka penyelenggaraan dan pengaturan pendidikan akan dikendalikan pada tingkat kabupaten atau kota. Bila demikian maka MBS tidakakan dapat berjalan secara efektif karena sekolah-sekolah tidak akan memiliki kekuasaan dan wewenang dalam mengatur dirinya sendiri.


Batasan masalah
1.Deskripsi perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada dan di Indonesia
2.Motif MBS di Indonesia
3.Implikasi pelaksanaan MBS
4.Kendala-kendala pelaksanaan MBS
5.Karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
6.Prinsip-prinsip Good Governance
7.Latar belakang implementasi MBS
8.Kriteria keberhasilan implementasi MBS
9.Keterkaitan standar pelayanan minimal dengan MBS

Tujuan dan Manfaat
1.Dengan dibuatnya makalah ini mahasiswa dapat mengetahui perbedaan pelaksanaan MBS di Indonesia dan di negara lainnya.
2.Untuk memenuhi tugas Mata kuliah MBS






PEMBAHASAN

Perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada
Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan. Para siswa pada tahun ke-3, 6, 9, dan 12, secara reguler diuji untuk semua bidang bidang pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun, survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian tingkat kepuasan mereka dalam kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan meng-undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.
Perkembangan pelaksanaan MBS di Indonesia
Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh swasta, baik yayasan, pesantren, badan hukum dan sebagainya, telah menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang).
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia terus dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.
Lima Kebijakan pokok dalam SMI di Hongkong
Kerangka acuan SMI di Hongkong ada lima kebijakan, yaitu:
1)Peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan
2)Peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah
3)Fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
4)Partisipasi dalam pengambilan keputusan
5)Sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas
Dari ke lima kebijakan di atas dapat di simpulkan dua hal penting, yaitu tingkatan individual dan tingkatan sekolah secara menyeluruh. Pertama, sistem pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh Departemen Pendidikan, sebagai langkah awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai suatu keseluruhan.
Delapan motif diterapkannya MBS di Indonesia:
Beberapa aspek yang dijadikan motif diterapkannya MBS di sekolah, adalah motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah. King dan Kozler (1988) menjelaskan mengapa manajemen lokal secara ekonomi lebih efektif. Mereka mencatat bahwa orang-orang yang mempunyai keuntungan dan kerugian serta mempunyai informasi terbaik tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sekolah adalah orang yang mampu membuat keputusan yang tepat tentang bagaimana sekolah seharusnya menggunakan sumber daya dan bagaimana siswa seharusnya belajar.
Secara politis, MBS sebagaimana bentuk reformasi desentralisasi lainnya digunakan untuk mendorong adanya partisipasi demokratis dan kestabilan politik, di mana pemerintah pusat memberikan kesempatan mendesentralisasikan beberapa aspek pengambilan keputusan di bidang pendikan untuk mendorong keleluasaan yang lebih besar kepada daerah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gamage, D (2003:2) yang menyatakan bahwa reformasi pendidikan, termasuk MBS pada dasarnya karena faktor politik, di mana terjadi proses restrukturisasi birokrasi dalam sistem pendidikan di sekolah. Kepala sekolah berbagi kekuasaan dan kewenangan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan dalam pengambilan keputusan.
Motif profesional menggambarkan bahwa para profesional sekolah mempunyai pengalaman dan keahlian untuk membuat keputusan pendidikan yang paling tepat untuk sekolah dan siswanya. Para profesional juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan pendidikan yang dimiliki berkenaan dengan kurikulum, pedagogik, pembelajaran dan proses manajemen sekolah. Di samping itu, para profesional juga terlibat dalam manajemen sekolah dan juga mampu memberi motivasi dan komitmen yang lebih pada pembelajaran di sekolah.
Motif efisiensi administrasi menunjukkan bahwa penerapan MBS sebagai alat efisiensi administrasi di sekolah, menempatkan sekolah pada posisi terbaik untuk mengalokasikan sumber daya secara efeketif dalam menemukan kebutuhan para siswa. Banyak sistem yang didesentralisasi mencoba untuk meningkatkan akuntabilitas. Oleh karena itu, berkurangnya tingkat birokrasi pusat mendorong terjadinya efisiensi administrasi yang lebih besar. Efisiensi di tingkat sekolah terjadi ketika partisipan lokal membuat keputusan sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah dapat juga digunakan sebagai alat untuk meningkatkan sumber pendanaan sekolah secara lokal. Asumsinya adalah bahwa dengan memberi harapan kepada orang tua dan menerima keterlibatan orang tua dalam pengambilan keputusan di tingkat sekolah, orang tua akan menjadi termotivasi untuk meningkatkan komitmen mereka kepada sekolah. Pada gilirannya, orang tua akan menjadi lebih berkeinginan untuk menyumbangkan uang, tenaga, dan sumber daya lain yang diperlukan kepada sekolah.
Meningkatkan prestasi siswa merupakan motif utama untuk memperkenalkan MBS. Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa jika orang tua dan para guru diberi otoritas untuk membuat keputusan atas nama sekolah mereka, iklim di sekolah akan berubah untuk mendukung pencapaian prestasi siswa. Meskipun bukti empirik untuk mendukung asumsi itu tidak kuat, tetapi dalam konteks ini, jika MBS sebagai motif dalam implementasi MBS, maka yang diperlukan adalah bagaimana mengubah proses pembelajaran. Ini dapat dilakukan melalui otonomi dalam mendesain pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan sumbder daya yang dimiliki.
Melibatkan para aktor di tingkat sekolah dalam pengambilan keputusan dan pelaporan dapat menciptakan dorongan dan perhatian yang lebih besar untuk peningkatan mutu sekolah. Ketika terjadi desentralisasi pengambilan keputusan digunakan untuk tujuan meningkatkan akuntabilitas, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan suara dari mereka yang kurang terdengar (atau setidaknya tidak cukup mendengarkan) seperti dalam konteks struktur tata layanan sekolah tradisional. Menciptakan lebih efisien dan hemat biaya sekolah pada struktur administratif sekolah adalah tujuan utama kedua setelah akuntabilitas. Di Indonesia, menurut Departemen Pendidikan Nasional, terdapat empat motif penerapan MPMBS. Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa. Ketiga, keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah dan kontrol dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, sehingga penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif. Keempat, akuntabilitas sekolah tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat, mendorong sekolah untuk berupaya semaksimal mungkin melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang direncanakan, dengan melakukan upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua, masyarakat, dan pemerintah.
Kalau mencermati motif yang telah digambarkan di atas, pada hakikatnya inti penerapan MBS bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Nurkolis (2003:23) mengemukakan bahwa motif diterapkannya MBS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara umum, baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia maupun tenaga kependidikan lainnya, dan pelayanan pendidikan.
Hambatan Dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.

Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
Karakteristik MBS
MBS memiliki delapan karakteristik yang bertolakbelakang dengan karakteristik Manajemen Kontrol Eeksternal (MKE) yaitu dalam hal misi sekolah, strategi-strategi manajemen, hakikat aktivitas-aktivitas, penggunaan sumber-sumber daya, peran warga sekolah, hubungan interperonal, kualitas pada administrator dan indikator-indikator efektivitas (Ibid, hh. 48-58).
1)Misi sekolah. Sekolah dengan MBS memiliki cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di dalam aktivitas pendidikan dan arahan kerja. Ini adalah budaya organisasi yang besar pengaruhnya terhadap fungsi dan efektivitas sekolah. Budaya organisasi sekolah yang kuat harus dikembangkan diantara warga sekolah sehingga mereka bersedia berbagi tanggung jawab, bekerja keras dan terlibat secara penuh dalam pekerjaan sekolah untuk mencapai cita-cita bersama. Budaya sekolah yang kuat juga mensosialisasikan warga baru untuk memiliki komitmen terhadap misi sekolah dan dalam waktu yang sama memaksa warga lama bekerjasama secara terus menerus untuk menjalankan misi. Bila kita ingin sekolah kita mengambil inisiatif untuk memberikan kualitas pelayanan yang baik untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang bermacam-macam dan kompleks maka budaya organisasi yang kuat harus dikembangkan oleh warga sekolah untuk sekolahnya sendiri.
2)Hakikat aktivitas-aktivitas sekolah berarti sekolah menjalankan aktivitas-aktivitas pendidikannya berdasarkan karakteristik, kebutuhan dan situasi sekolah. Hakikat aktivitas berbasis sekolah adalah amat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini secara tak langsung mempromosikan perubahan manajemen sekolah dari model manajemen kontrol eksternal menjadi model berbasis sekolah. Ketika sebuah sekolah dikontrol secara eksternal, hanya mengimplementasikan tugas-tugas berdasarkan kebijakan dari otoritas pusat. Isi, metode dan evaluasi pengajaran cenderung mengikuti standar yang sama. Selain itu fasilitas, personel, organisasi, pengajaran dan pengelolaan sekolah semuanya dikontrol secara hati-hati oleh otoritas pusat ekstenal dan oleh karena itu aktivitas-aktivitas sekolah tidak berbasis sekolah.
3)Strategi-strategi manajemen. Perubahan arah dari MKE ke MBS dapat direfleksikan dalam aspek-aspek strategi manajemen berikut ini.
a)Konsep atau asumsi tentang hakikat manusia. Berlandaskan pada teori McGregor (1960) MBS menggunakan teori manajemen Y yang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Teori Y menyarankan bahwa partisipasi demokratik, perkembangan profesional dan kemajuan kehidupan kerja adalah penting untuk memotivasi guru-guru dan para siswa. Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943) dan Alderfer (1972) bahwa guru dan siswa kemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda, diluar keuntungan ekonomi. Mereka mengejar interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang. Dalam rangka memuaskan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras. MBS dapat menyediakan fleksibilitas lebih dan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan-kebuthan guru dan siswa dan memberi peran terhadap talenta-talenta mereka.
b)Konsep organisasi sekolah. Dalam organisasi modern, konsep organisasi telah berubah. Kini orang percaya bahwa sebuah organisasi adalah tempat untuk hidup dan berkembang. Organisasi bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang statis, misalnya produk yang berkualitas. Sekolah sebagai organisasi tidak sekedar tempat persiapan anak-anak dimasa mendatang, tetapi juga tempat untuk siswa-siswa atau guru dan admnistrator untuk hidup, tumbuh dan menjalani perkembangan. Tanpa perkembangan profesional dan keterlibatan yang antusias dari guru-guru dan administrator maka sekolah tak dapat dikembangkan dan ditinkatkan secara terus menerus, dan siswa-siswa tidak memiliki pembelajaran hidup yang kaya. Oleh karena itu dalam sebuah manajemen berbasis sekolah, sekolah tidak hanya tempat membantu perkembangan siswa tetapi juga tempat perkembangan guru dan administrator.
c)Gaya pengambilan keputusan. Dalam MBS maka gaya pengambilan keputusan pada tingkat sekolah adalah pembagian kekuasaan (power sharing) atau partisipasi (partisipation) dengan alasan sebagai berikut: (1). Tujuan sekolah sering tidak jelas dan berubah-ubah. Partisipasi guru, orang tua, siswa dan alumni dapat membantu untuk mengembangkan tujuan yang dapat lebih merefleksikan situasi saat ini dan kebutuhan masa depan. (2). Tujuan sekolah itu beragam dan misi sekolah itu kompleks. Diperlukan intelegensi, imajinasi dan usaha dari banyak orang untuk mencapainya. Partisipasi atau keterlibatan guru, orang tua dan siswa dalam pengambilan keputusan adalah sebuah sumbangan yang penting bagi siswa. (3). Partisipasi dalam pengambilan keputusan memberikan kesempatan kepada warga dan bahkan administrator untuk belajar dan berkembang dan juga mengerti dalam mengelola sekolah. (4). Partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah proses untuk mendorong guru-guru, orang tua dan siswa untuk terlibat di sekolah.
d)Gaya kepemimpinan. Menurut Sergiovanni (1984) terdapat lima tingkat kepemimpinan Kepala Sekolah dari rendah ke tinggi yaitu kepemimpinan teknis, manusia, pendidikan, simbolik dan budaya. Dalam merespon perubahan ke MBS maka gaya kepemimpinan kepala sekolah berubah dari tingkat rendah ke pememimpinan multi tingkat, berarti tidak hanya kepemimpinan teknis dan manusia melainkan juga kepemimpinan kependidikan, simbolik dan budaya.Bila kita yakin bahwa pekerjaan sekolah menjadi kian tak menentu, kompleks dan sulit, dan latar belakang pemikiran dan talenta warga sekolah lebih bermacam-macam dari sebelumnya maka aspek simbolik dan budaya kepemimpinan kepala sekolah harus ditetakankan. Kepala sekolah harus mmberi contoh yang baik untuk membantu warga sekolah memahami dan menghargai makna yang melandasi aktivitas-aktivitas sekolah, menyatukan berbagai perbedaan diantara berbagai warga, mengklarifikasi ketidakpastian dan ambiguitas, mengembangkan keunikan budaya dan misi sekolah, dan memotivasi setiap orang untuk bekerja demi masa depan yang lebih baik.
e)Pengunaan kekuasaan. French dan Reven (1968) mengklasifikasikan kekuasaan menjadi lima kategori yaitu penghargaan, paksaan, legitimasi, referensi dan keahlian. MBS simaksudkan untuk mengembangkan SDM dan mendorong komitten dan inisiatif warga sekolah, maka gaya tradisional dalam penggunaan kekuasaan harus dirubah. Maka administrator disarankan menggunakan kekuasaan terutama keahlian dan referensi, memberi perhatian terhadap pertumbuhan profesional guru, menjadi pemimpin yang profesional terhadap guru-guru dan memberi inspirasi pada guru-guru dan siswa untuk bekerja secara antusias dengan kepribadian mulia mereka.
f)Keterampilan-keterampilan manajemen. Ketika mengadopsi MBS maka pekerjaan manajemen internal menjadi lebih kompleks dan berat oleh karena itu diperlukan konsep-konsep baru dalam keterampilan manajemen baru. Misalnya metode-metode ilmiah untuk analisis keputusan, keterampilan mengelola konflik, strategi efektif untuk perubahan dan perkembangan organisasi.
4) Penggunaan sumber-sumber daya. MBS dalam model school-based budgeting program memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengadakan dan menggunakan sumber daya. Dengan demikian, self-budgeting menyediakan suatu kondisi yang penting pada sekolah untuk menggunakan sumberdaya-sumberdaya secara efektif berdasarkan karakteristik dan kebutuhan mereka guna memecahkan masalah yang timbul saat itu dan mengejar tujuan mereka sendiri sepeti yang berlaku di Inggris, Kanada, Australia, Amerika Serikat dan Hong Kong. Namun pada MKE sebagian besar sumber daya dan pengeluaran sekolah-sekolah negeri datang langung dari pemerintah. Pemerintah perlu mengawasi secara dekat bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya. Sehingga pemerintah memerlukan SDM yang banyak dan sumber daya yang besar untuk mengawasi penggunaan sumber daya di sekolah. Setiap aspek pembiayaan sekolah harus berkonsultasi dan minta persetujuan dari pusat. Sekolah tidak mudah untuk mengadakan sumber daya di bawah pertentangan-pertentangan dengan otoritas pusat. Oleh karena itu sekolah tidak dapat menggunakan sumber daya secara efektif dalam rangka memenuhi kebutuhan manajemen dan aktivitas pengajaran.
5) Perbedaan-perbedaan peran. Peran warga sekolah secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh kebijakan manajemen pemerintah, misi sekolah, hakikat aktivitas sekolah, strategi-strategi pengelolaan internal sekolah, dan gaya penggunaan sumber daya. Perubahan ke model MBS menuntut peran aktif sekolah, administrator, guru, orang tua dari yang semula pasif.
a)Peran Sekolah. MBS bertujuan untuk mengembangkan siswa, guru dan sekolah menurut karkteristik sekolah itu sendiri. Oleh karena itu peran sekolah adalah gaya pengembangan, inisiatif, memecahkan masalah, dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk memfasilitasi efektivitas pengajaran guru dan efektivitas pembelajaran siswa.
b)Peran Departemen Pendidikan. Dalam MBS aktor kunci adalah sekolah dan peran otoritas pusat (Departemen Pendidikan) hanya sebagai suporter/pendukung atau advisor/penasehat yang membantu sekolah untuk mengembangkan sumber dayanya dan secara khusus untuk menjalankan aktivitas pengajaran efektif.
c)Peran Para Administrator. Peran administrator dalam MBS adalah pengembang dan pemimpin sebuah tujuan. Mereka mengembangkan tujuan-tujuan baru untuk sekolah menurut situasi dan kebutuhannya. Selain itu juga memimpin warga sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi sekolah. Mereka juga memperlebar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan sekolah.
d)Peran Para Guru. Dalam MBS, cita-cita sekolah dan strategi-strategi pengelolaan mendorong partisipasi dan perkembangan dan peran guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan dan pengimplementasi. Mereka bekerja bersama-sama dengan komitmen bersama dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusiasme.
e)Peran Para Orang Tua. Dalam MBS, para orang tua menerima pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang mereka butuhkan. Peran orang tua adalah sebagai partner dan suporter. Mereka dapat berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara kooperatif, berusaha membantu perkembangan yang sehat kepada sekolah dengan memberi sumbangan sumber daya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat mengalami kesulitan dan krisis.
6) Hubungan antar manusia. Dalam terminologi MBS menekankan hubungan antar manusia yang cenderung terbuka, bekerjasama, semangat tim dan komitmen yang saling menguntungkan. Maka iklim organisasi cenderung mengarah ke tipe komitment. Iklim organisasi seperti gaya tanpa pimpinan (headless style), gaya tanpa sepemahaman (disengagement style) dan gaya kontrol (conrol style) dapat merusak pengajaran dan manajemen sekolah serta mempengaruhi efektivitas sekolah.
7) Kualitas para administrator. Dalam model MBS sekolah memiliki otonomi tertentu. Partisipasi dan perkembangan dipandang sebagai suatu yang penting dalam menghadapi tugas pendidikan yang kompleks dan dalam mengejar efektivitas pendidikan. Dalam kasus ini persyaratan administrator yang berkualitas adalah sangat tinggi/penting. Mereka tidak hanya harus dilengkapi dengan pengetahuan dan teknik manajemen modern untuk mengembangkan sumber daya dan manusia, tetapi juga perlu untuk belajar dan tumbuh secara terus menerus untuk menemukan dan memecahkan masalah demi kemajuan sekolah. Singkatnya, untuk menjadi akrab dengan persyaratan sekolah semacam ini mereka perlu memperluas wawasan dan pemikirannya untuk belajar sehingga mereka dapat mempromosikan demi perkembangan jangka panjang sekolahnya.
8) Indikator-indikator efektivitas. Pada sekolah-sekolah yang dikontrol dari luar, maka perkembangan misi dan tujuan sekolah tidaklah penting. Indikator utama efektivitas sekolah adalah prestasi akademik pada pada akhir suatu tingkat sekolah, dan mengabaikan proses pendidikan dan pencapaian penting lainnya. Dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator multi-tingkat dan multi-segi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu penilaian efektivitas sekolah harus memperhatikan multi-tingkat yaitu pada tingkat sekolah, kelompok, individual dan indikator multi-segi yaitu mencakup input, proses dan output sekolah disamping perkembangan akademik siswa.
Sementara itu berdasarkan konsep MPMBS karakteristiknya terdiri dari: output yang diharapkan, proses dan input (Depdiknas, op. cit, hh. 11-20).
(1) Output yang diharapkan. Sekolah harus memiliki output yang diharapkan yaitu prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Output bisa berupa prestasi akademik seperti NEM, lomba karya ilmiah remaja, loma Bahasa Inggris, Metematika, Fisika, cara berfikir kritis, kreatif, nalar, rasional, induktif, deduktif dan ilmiah. Juga prestasi non akademik misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian dan kepramukaan.
(2) Proses. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut.
a.Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi.
b.Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c.Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d.Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e.Sekolah memiliki budaya mutu.
f.Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis.
g.Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h.Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i.Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
j.Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k.Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l.Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
m.Komunikasi yang baik.
n.Sekolah memiliki akuntabilitas.
(3) Input pendidikan yang meliputi:
a.Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas.
b.Sumberdaya tersedia dan sia
c.Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi.
d.Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
e.Fokus pada pelanggan.
f.Input manajemen.

Partisipasi adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di sekolah.
Transparansi adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Transparansi sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban penyelenggaran organisasi kepad apihak yang memilik pihak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Ukuran keberhasilan implementasi
MBS di Indonesia dapat dinilai setidaknya dari beberapa kriteria : Pertama, MBS dianggap berhasil apabila jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semaikin meningkat. Masalah siswa yang tidak bisa mendaftar sekolah karena masalah ekonomi akan dipecahkan secara bersama-sama oelh warga sekolah melalui subsidi silang dari mereka yang ekonominya lebih mampu. Keberhasilan MBS harus dilihat kemampuannya dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi sebagian rakyat Indonesia masih terbatas pada tingkat sekolah dasar sebagai hasil dari program Inpres SD yang dilaksanakan sejak tahun 1974. Ketidak merataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok : (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, (c) wanita, dan (d) penyandang cacat. Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Semua persoalan itu pada gilirannya dapat menghambat pembanunan nasional menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur.
Kedua, MBS dianggap berhasil apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik. Karena layanan pendidikan tersebut berkualitas mengakibatkan prestasi akademik dan prestasi non akademik siswa juga meningkat. Ketiga, tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Tingkat tinggal kelas menurun karena siswa semakin bersemangat untuk datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua serta lingkungannya. Selain itu yang menunjang lainnya adalah peningkatan efesiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah. Keempat, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat maka relevansi penyelenggaraan pendidikan semakin baik. Program yang diselenggarakan di sekolah baik kurikulum maupun sarana dan prasarana disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lingkungan masyarakat.
Kelima, terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Keenam, semakin meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah baik yang menyangkut keputusan intruksional maupun organisasional. Dengan demikian, orang tua siswa dan masyarakat akan semakin peduli dan rasa memiliki yang lebih besar pada sekolah. Bila hal ini telah terjadi maka masyarakat akan dengan sukarela menyumbangkan tenaga dan hartanya untuk sekolah. Ketujuh, salah satu indikator penting lain kesuksesan MBS adalah semakin baiknya iklim dan budaya kerja sekolah. Iklim dan budaya kerja yang baik akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Selanjutnya sekolah akan berubah dan berkembang lebih baik. Setiap personil akan merasa aman dan nyaman dalam menjalankan tugasnya. Kedelapan, kesejahteraan guru dan staf seolah membaik antara lain karena sumbangan pemikiran, tenaga dan dukungan dana dari masyarakat luas. Semakin profesional seorang guru dan staf sekolah maka masyarakat semakin berkeinginan untuk memberikan sumbangan dana lebih besar. Kesembilan, apabila semua kemajuan pendidikan di atas telah tercapai maka dampak selanjutnya adalah akan terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Indikator keberhasilan implementasi berupa tercapainya demokratisasi pendidikan diletakkan pada posisi terakhir karena sasaran ini jangka panjang dan paling jauh dari jangkauan.
Standar Pelayanan Minimal merupakan suatu istilah dalam pelayanan public (public policy) yang menyangkut kualitas dan kuantitas pelayanan public yang disediakan oleh pemerintah sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat.
Sarana pendidikan adalah fasilitas-fasilitas yang digunakan secara langsung dalam proses belajar mengajar agar tujuan pembelajaran tercapai, sedangkan prasarana pendidikan merupakan segala sesuatu yang secara tidak langsung menunjang proses pendidikan.
Menurut E. Mulyasa, Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar, mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media pengajaran”.
Menurut Tim Penyusun Pedoman Pembakuan Media Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar-mengajar, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien”.
Standar sarana dan prasarana mencakup :
a.Kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah,
b.Kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah.
Sebuah tingkat satuan pendidikan harus memiliki prasarana yang telah ditetapkan dalam PP No.24 tahun 2007. Berikut ini kelengkapan prasarana untuk satuan pendidikan
a.Ruang kelas
b.Ruang perpustakaan
c.Ruang pimpinan
d.Ruang guru
e.Ruang UKS
f.Ruang sirkulasi
g.Ruang konseling
h.Ruang organisasi kesiswaan
i.Ruang laboratorium IPA
j.Ruang laboratorium Fisika
k.Ruang laboratorium Kimia
l.Ruang laboratorium Biologi
m.Ruang laboratorium Komputer
n.Ruang laboratorium Bahasa
o.Ruang tata usaha
p.Tempat beribadah
q.Gudang
r.Tempat bermain/olahraga
s.Jamban
Kelengkapan prasarana tersebut adalah kelengkapan minimal yang harus dimiliki oleh setiap tingkat satuan pendidikan, artinya setiap tingkat satuan pendidikan dapat memiliki lebih dari prasarana yang telah ditentukan. Prasarana tersebut dilengkapi dengan sarana seperti meja, bangku, papan tulis, lemari, buku dan media pembelajaran lain.







PENUTUP

Kesimpulan
Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

Saran
1.Sebelum dilaksanakan MBS perlu diadakan sosialisasi kepada semua pihak warga sekolah agar pelaksanaan MBS dapat berjalan sesuai yang diharapkan.