Selasa, 12 Oktober 2010

Artikel Manajemen Berbasis Sekolah kelompok 6

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Slameto, M.Pd









Disusun oleh :

1. Setyaningrum                  292008082
2. Amrih Wicaksono Adi     292008087
3. Dewi Sekar Pamungkas  292008096
4. Moh. Agus Triyanto        292008102
5. Natalia Retno W             292008113
6. Dika Satriya W               292008120
7. Sekar Sari Melati            292008136

Kelas: D




PROGRAM STUDI SI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010







ABSTRAK


Peningkatan kualitas pendidikan adalah pilihan sekaligus orientasi pengembangan peradaban bangsa sebagai investasi masa depan pembangunan bangsa berjangka panjang.
Orientasi ini mutlak dilakukan oleh karena pendidikan diyakini sebagai sarana utama pengembangan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks itulah revitalisasi kebijakan pendidikan terus menjadi perhatian pemerintah. Salah satu bentuk revitalisasi itu ialah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan dari kebijakan yang semula sentralistik berubah menjadi desentralistik. Sebagai konsekuensi logis dari bentuk desentralisasi pendidikan ialah munculnya kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (school based management). Dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan ditingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.














BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi. MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3m-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).

B. Masalah
1. Perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada dan di Indonesia.
2. Lima kebijakan pokok dalam SMI sudah menjawab masalah-masalah pendidikan di Hongkong
3. Pengertian “site-based management” dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat, dan ilustrasinya.
4. Delapan motif diterapkannya MBS di Indonesia, dan satu motif terpenting dari penerapan MBS di satu sekolah.
5. Kendala penerapan MBS dan pihak yang paling banyak mengubah peranannya dalam pengelolaan pendidikan.
6. Saran pemecahan mengenai kendala-kendala pelaksanaan MBS.
7. Karakterisrik MBS secara keseluruhan.
8. Pengertian partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam prinsip-prinsip good governance.
9. Ilustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
10. Latar belakang perlunya implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah.
11. Contoh criteria keberhasilan implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah.
12. Keterkaitan antara standar pelayanan minimal bidang dan pendidikan dengan MBS.
13. Contoh standar pelayanan minimal pendidikan pengelolaan sekolah dan bidang sarana dan prasarana sekolah yang harus ada di SD/MI.

C. Tujuan
Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Manfaat
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.






BAB II
PEMBAHASAN


Di Kanada, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi dimana pemerintah daerah/kota (district) sebagai unit administratif dan pengambilan kebijakan. Perubahan yang terjadi di sekolah-sekolah negeri Edmonton di Alberta digambarkan sebagai inisiatif model School-Site Decision Making. Model itulah yang menjadi sorotan secara nasional ataupun internasional yang saat ini menjadi model di mana-mana.
Edminton adalah daerah urban dengan jumlah murid sekitar 60.000 orang, lebih dari sepuluh tahun berbagai keputusan yang berkaitan dengan pengalokasian pengajaran dan staf pendukung, peralatan, penyediaan, dan pelayanan pendidikan telah didesentralisasikan ke sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah dan para staf sekolah menengah atas (SMU) harus merencanakan alokasi beberapa juta dolar setiap tahunnya. Staf sekolah dikontrak secara sentralistis, tetapi dipilih oleh para kepala sekolah. Gaji dan kondisi kerja guru ditentukan oleh organisasi profesi dan dewan sekolah. Dewan sekolah menentukan tujuan sekolah secara luas dalam hal sistem dan prioritas untuk semua sekolah.
Model MBS di Kanada disebut Schol-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. Di Kanada MBS dimulai pada tahun 1970 dengan 7 sekolah sebagai percobaan. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan, dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981 diadopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan pendekatan manajemen mandiri.
Menurut Sungkowo (2002), cirri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut:
1. Penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah
2. Anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum.
3. Alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah
4. Adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja.
Penekanan model MBS di Kanada dalam hal pengambilan keputusan, yaitu pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara langsung. Model ini pun hanya terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan, dan penghentian tenaga guru dan administrasi, pengadaan peralatan sekolah, pelayanan kepada pelangganan sekolah.
Terdapat tiga bidang yang ditentukan oleh pusat sebelum MBS diterapkan, yaitu:
1. Pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat
2. Pengadaan peralatan seperti buku, alat tulis, dan bahan praktik laboratorium semuanya didrop dari pusat.
3. Pelayanan pendidikan kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat mulai ditinggalkan.
Sejak diterapkannya MBS maka sekolah-sekolah diberi kewenangan untuk menentukan kebutuhan pada 3 bidang tersebut.
Di Kanada diadakan standarisasi tes di seluruh distrik untuk pelajaran bahasa, ilmu-ilmu social, matematika, dan ilmu alam yang diterapkan pada kelas 3, 6, dan 9. Dilakukan survey tahunan terhadap system pendidikan secara menyeluruh di masing-masing sekolah terhadap semua kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan siswa dengan maksud mendapatkan opini tentang kualitas pendidikan dan pelayanan pendidikan.
Program lain yang menjadi ciri dari model MBS di Kanada adalah peningkatan dan pengembangan profesionalisme tenaga kerja baik meningkatkan kemampuan guru maupun tenaga administrasi. Guru dan tenaga administrasi diarahkan untuk menjadi tenaga kerja yang efektif. Tenaga kerja efektif adalah tenaga yang mampu bekerja sesuai dengan tugas, peran, dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai tenaga kerja yang efektif ini maka harus ada kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak.

Selain itu Hongkong juga sudah menjalankan MBS yang disebut dengam Standart Management Inisiative (SMI). Terdapat 5 kebijakan SMI yang ada dan sudah menjawab masalah-masalah pendidikan yang ada. Acuan 5 kelompok kebijakan SMI yaitu:
1. Peran dan hubungan baru bagi Departemen Pendidikan
2. Peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah
3. Fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
4. Partisipasi alam pengambilan keputusan
5. Sebagai kerangka acuan dalam hal tingkatam individual dan tingkatan saekolah secara menyeluruh.
Pilar SMI (School Management Initiative) di Hongkong dibagi menjadi 2, yaitu: sistem pelaporan dan akuntabilitas. Pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan serta memperhatikan penilaian yang dimiliki. Akuntabilitas sekolah yang dimaksud sebagai suatu keseluruhan perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai serta mempertanggungjawabkannya.
Jadi, SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan. Dalam penyelenggaraan sekolah menekankan partisipasi guru, orangtua, dan siswa tentunya.

Sedangkan di Amerika MBS disebut dengan Site Based Management. Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada saat adanya gelombang reformasi pendidikan yaitu pada tahun 1980-an. Gelombang kedua ini sebagai kebangkitan kembali akan adanya kesadaran dan pentingnya pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah. Era itu merupakan kelanjutan reformasi yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada saat sekolah-sekolah di distrik menerapkan site based management. Gelombang pertama ditandai dengan adanya sentralisasi fungsi-fungsi pendidikan pada tingkat pusat, mencakup kirulum dan ujian nasional. Gelombang kedua terjadi karena adanya laporan dari the national commission excellen in education (1983) yang selanjutnya dilakukan pengurangan keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah federal.
Sistem pendidikan di AS mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (step) bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah (district) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang terbatas bahkan semakin berkurang perannya. Perannya hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan.
Saat itu muncul berbagai berbagai rekomendasi baik dari individu maupun organisasi yang berpengaruh untuk mengadopsi MBS. Misalnya, Asosiasi Gubernur Nasionan (National Governors’ Association) yang menyebut “intensif dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan MBS” dimana mereka merasa yakin bahwa penyerahan pengelolaan sumber daya ke tingkat sekolah akan membuat kemajuan. Hal ini karena sekolah memiliki kebebasan mencurahkan energy kreatifnya dan sekolah dapat mengembangkan diversifikasi pendekatan dan strategi untuk mencapai tujuannya.
Rekomendasi juga datang dari persatuan guru terbesar di Amerika Serikat, yaitu The National Education Association dan asosiasi kepala sekolah menengah pertama (The National Associaton of Secondary School Principal). Mereka berdua menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan maka otoritas pengambilan keputusan harus berada pada tingkat sekolah. Melihat sejarah kemunculannya seperti tersebut itu maka model MBS di Amerika Serikat disebut dengan Site-Based Management.

Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam cengkeraman pemerintahan otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakat sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikeluarkannya UU No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.

Delapan motif diterapkannya MBS di Indonesia, yaitu:
a. Motif ekonomi
b. Motif profesional
c. Motif politik
d. Motik efisiensi administrasi
e. Motif finansial
f. Motif prestasi siswa
g. Motif akuntabilitas
h. Motif efektivitas sekolah
Berdasarkan 8 motif di atas kelompok kami menganggap bahwa motif prestasi siswa adalah yang terpenting. Mengapa demikian? Yang terpenting dalam sekolah adalah pencapian siswa di bidang prestasi, jika sekolah ingin menjual apa yang mereka punya yaitu prestasi siswa. Karena dengan prestasi siswa maka tanpa promosi kepada pihak luar (masyarakat) pasti sekolah akan dicari banyak orang untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah tersebut. Dengan demikian sekolah tanpa memerlukan biaya untuk promosi, sekolah akan memperoleh income atau pemasukan dari siswa baru. Prestasi siswa yang baik yaitu prestasi dibidang akademik dan non akademik.
Di bidang akademik prestasi siswa dapat dilihat dari
a. hasil UAN dan tingkat kelulusan yang 100%
b. prestasi dari berbagai pengikutsertaan siswa pada ajang-ajang yang digelar baik di luar maupun di dalam negeri.
Di bidang non akademik siswa dapat berpartisipasi dalam event-event yang diadakan. Seperti
a. olimpiade olahraga,
b. ekstrakurikuler, dan
c. berbagai event-event diluar sekolah lainnya.
Untuk memperoleh itu semua sekolah harus didukung manajemen yang baik, seperti
a. pengelolaan mutu guru yang mengajar,
b. fasilitas dan lapangan yang mendukung.

Kendala-kendala dalam pelaksanaan MBS
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Karakteristik MBS adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam bidang adminisrtasi pendidikan, administrasi pendidikan itu sendiri yaitu upaya pengaturan dan pendayagunaan seluruh sumberdaya dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Prinsip-prinsip good governance:
a. Partisipasi
Partisipasi adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengeva-luasian pendidikan disekolah.
Ilustrasi penerapannya antara lain setiap satu tahun sekali sekolah mengadakan rapat tahunan yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, dan orang tua murid untuk meninjau tentang hasil evaluasi pembelajaran serta memberikan masukan – masukan yang belum masuk dalam hasil evaluasi.
b. Transparansi
Transparansi adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah.
Ilustrasi penerapannya adalah antara lain adanya kepastian akan keterbukaan antara pihak sekolah, masyarakat, dan wali murid yang meliputi nilai, keuangan, dan kebijakan program-program yang diterapkan disekolah itu.
c. Akuntabilitas
Akuntanbilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban penyelenggaran organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenanan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu :
- Standar isi
- Standar proses
- Standar kompetensi lulusan
- Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
- Standar sarana dan prasarana
- Standar pengeloolaan
- Standar pembiayaan
- Standar penilaian pendidikan
Ilustrasi penerapannya antara lain setelah setiap akhir tahun kepala sekolah mengadakan rapat bersama sekolah, wali murid, dan masyarakat sekitar untuk membahas mengenai program-program yang sudah terlaksana satu tahun yang lalu dievaluasi apa keberhasilannya dan apa kekurangannya untuk memperbaiki ke tahun selanjutnya.

Contoh penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
a. Prinsip Partisipasi
Dalam pembelajaran dikelas siswa diharapkan tidak pasif. Jadi didalam kelas siswa dituntut untuk dapat mencari sendiri sumber bahan belajar lain yang akan dipelajari didalam kelas, bertanya mengenai hal-hal yang kurang dimengerti dalam proses KBM.
b. Prinsip Transparansi
Dalam pembelajaran dikelas guru harus adil dan transparan dalam memberikan nilai.
c. Prinsip Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru dalam pembelajaran guru harus membimbing siswa sampai pada akhirnya mencapai kompetensi yang diinginkan. Sedangkan siswa harus ada pertanggung jawaban dengan cara belajar rajin agar dapat mencapai kompetensi yang diinginkan tersebut.

Kriteria keberhasilan implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah.
Keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari ketercapaian prinsip-prinsip/ciri MBS.
1. Prinsip Partisipasi
a. Meningkatnya kontribusi/dedikasi stake holders
b. Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada sekolah
c. Meningkatnya tanggungjawab dankepedulian
d. Meningkatnya kualitas dankuantitas masukan (kritik & saran), dan
e. Keputusan benar-benar mengekspresikan aspirasi dan pendapat stakeholders.
2. Prinsip Transparansi
a. Meningkatnya keyakinan dan kepercayaan public kepada sekolah
b. Mmeningkatnya partisipasi publik terhadap penyelenggaraan sekolah
c. Bertambahnya wawasan dan pengetahuan publik terhadap penyelenggaraan sekolah, dan
d. Berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundangan.
3. Prinsip Akuntabilitas
a. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan public terhadap sekolah
b. Tumbuhnya kesadaran public tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
c. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.


Contoh standart pelayanan minimal pendidikan pengelolaan sekolah dan bidang sarana prasarana yang harus ada di SD/MI adalah sebagai berikut:
a. Proses belajar mengajar: sesuai dengan kurikulum yang sedang digunakan (KTSP).
b. Ketenagaan: jumlah guru, kualifikasi guru, kualifikasi kepala sekolah, dan kualitas mengajar guru.
c. Kesiswaaan: jumlah siswa per kelas minimal 20.
d. Peran serta masyarakat: adanya komite sekolah
e. Sarana dan prasarana: ruang kelas I – VI, ruang kepala sekolah dan guru, kamar mandi/WC bagi siswa dan guru, aliran air bersih, perpustakaan (buku-buku yang menunjang KBM), UKS, kantin, lapangan upacara.




















BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN 

Dari uraian yang kami sampaikan di atas, MBS di Indonesia merupakan program yang ditetapkan pemerintah dengan memberikan kesempatan bagi sekolah untuk untuk memanajemen sekolah mereka masing-masing. Dalam penerapannya sekolah dengan transparansi memberikan informasi pada masyarakat, sesuai apa yang telah sekolah lakukan. Hampir sama seperti site base management, MBS berjalan berdasarkan pemberian hak otonom pada berbagai bidang yang mencakup pendidikan, seperti manajemen administrasi pendidikan, manajemen keuangan sekolah, dst.
MBS dikatakan berhasil jika standar minimal yang tercantum terlaksana dengan baik dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sekolah. Setiap pihak yang berperan dalam MBS bertanggungjawab memberikan yang terbaik bagi kemajuan sekolah. Dengan demikian pelaksanaan MBS berjalan dengan baik. Untuk peningkatan mutu sekolah maka perlu adanya jaringan komunikasi, sumber yang mendukung, dan tenaga professional.
Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran. Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid.


B. SARAN

Hambatan dalam penerapan MBS dapat diminimalisir dengan pengelolaan yang benar sesuai standar. Peningkatan mutu dapat dilakukan secara bertahap dan sesuai standar yang telah disepakati. Hasil ahir dari MBS merupakan evaluasi dari keseluruhan yang telah terlaksana selama MBS berjalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar