Minggu, 17 Oktober 2010

TUGAS
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dosen : Prof. Dr. Slameto, M.Pd.

DISUSUN OLEH:
Berti Muryan .S 292008176
Dedy Yusuf 292008200
Deny Risnanto 292008144
Erik Edi .N 292008045
Galih Yudha .N 292008057
Yudan .M 292008005


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010




ABSTRAKSI

Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Usaha-usaha implementasi MBS di Indonesia dilakukan dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan. Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI maka sekolah akan lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Menurut Nurcholis (2003:108), sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya dan kondisi kerja, mempunyai komitmen ang tinggi pada dirinya, menjadikan prestasi sebagai acuan dalam penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya kualitas proses pembelajaran.















BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu diantara tujuan pendidikan nasional yang memiliki keterkaitan dengan dengan pilar kedua rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) adalah mutu pendidikan nasional. Persoalan yang sering terjadi dengan peningkatan mutu pendidikan adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang lebih mementingkan input dan output dibandingkan melihat proses dan aspek lainnya, tingkat keberdayaan sekolah dalam menjalankan fungsi manajemen di sekolah masing – masing, peran serta masyarakat yang masih rendah, serta peralihan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik menjadi desentralistik.
Untuk mengatasi hal tersebut dan seiring dengan era otonomi daerah dengan asas desentralisasinya, peningkatan mutu dan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dari seluruh komponen pendidikan dan pemberdayaan komponen pendidikan. Pemerintah juga telah menerapkan MBS yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola dan juga meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing – masing. Pengalaman disejumlah negara yang telah menerapkan MBS seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Hongkong dan beberapa sekolah yang menjadi contoh penerapan MBS memberikan gambaran bahwa penerapan MBS di sekolah merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada dan di Indonesia.
2. Lima Kebijakan pokok SMI di Hongkong apakah sudah menjawab masalah pendidikan di Hongkong.
3. Pengertian Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat dan ilustrasinya.
4. 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia, dan satu motif terpenting dari penerapan MBS di sekolah.
5. Kendala penerapan MBS di Sekolah dan pihak mana saja yang paling banyak mengubah peranannya dalam pengelolaan pendidikan.
6. Saran – saran mengenai pemecahan kendala-kendala pelaksanaan MBS.
7. Karakterisrik MBS secara keseluruhan.
8. Pengertian partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam Prinsip – Prinsip Good Governance.
9. Ilustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas dalam Penerapan MBS dan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
10. Latar belakang perlunya implementasi MBS.
11. Contoh Kriteria Keberhasilan Implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah.
12. Keterkaitan Antara Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan dengan MBS.
13. Contoh Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Pengelolaan Sekolah dan Bidang Sarana dan Prasarana Sekolah Yang Harus Ada di SD/MI.

BAB II
PEMBAHASAN
Kita tahu bahwa tingkat pendidikan di-Indonesia masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara yang lebih maju. Maka dari itu pemerintah menerapkan MBS disekolah dengan pandangan bahwa MBS adalah jalan keluar paling efektif dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Ada 3 kompenen yang terdapat dalam MBS yaitu MS (Manajemen Sekolah), PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan), serta PSM (Peran Serta Masyarakat) dimana ketig-tiganya bertujuan untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan berdasarkan MBS dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
1. Pelaksanaan MBS Diberbagai Negara
a. Pelaksanaan Perkembangan MBS di Kanada
Pelaksanaan MBS di Kanada berisikan tentang pengambilan kebijaksanaan yang diberikan kepada sekolah masing-masing atau sering dikenal dengan School – Site Decission Making. Sehingga tiap sekolah atau provinsi bertanggung jawab atas pendidikan masing-masing baik dari segi administratif maupun pengambilan kebijakan.
Di Kanada MBS dimulai pada tahun 1970 dengan 7 sekolah sebagai percobaan. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan, dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981 diadopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan pendekatan manajemen mandiri.
Menurut Sungkowo (2002), cirri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut:
1. Penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah
2. Anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum.
3. Alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah
4. Adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja.
Di Kanada MBS menekankan pengambilan keputusan, yaitu pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara langsung. Akan tetapi hanya terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan, dan penghentian tenaga guru dan administrasi, pengadaan peralatan sekolah, pelayanan kepada pelangganan sekolah. Sejak diterapkannya MBS maka sekolah-sekolah diberi kewenangan untuk menentukan:

1. Pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat
2. Pengadaan peralatan seperti buku, alat tulis, dan bahan praktik laboratorium semuanya didrop dari pusat.
3. Pelayanan pendidikan kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat mulai ditinggalkan.

Pada tahun 1994, Provinsi Alberta merencanakan untuk memulai restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan dengan mengundan-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school district” secara drastis dari 140 menjadi 60, serta penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan, termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan yang baru.

b. Pelaksanaan MBS di Hongkong

Program SMI yang di Hongkong menekankan pada inisiatif sekolah dalam manajemen sekolah. Latar belakang munculnya adalah untuk memecahkan permasalahan pendidikan di Hongkong yaitu: struktur manajemen yang belum memadai,kurangnya peran dan pemahaman tentang tanggung jawab, tidak terdapatnya program pengukuran kemampuan, menekankan fungsi kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja yang bertanggung jawab dan akuntabilitas, menekankan pada biaya margin daripada efektivitas nilai uang dan biaya. Cheng (1996:44) memberikan pernyataan bahwa pelaksanaan SMI didasarkan oleh usaha untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan dengan cara memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, perbaikan fasilitas belajar mengajar seperti program remidial, program bimbingan siswa, serta beberapa penataran dalam jabatan. Kebijakan ini pelan – pelan mengubah model manajemen yang sifatnya sentralistik dan memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah tersebut.

Lima Kebijakan pokok dalam SMI di Hongkong
Kerangka acuan SMI di Hongkong ada lima kebijakan, yaitu:
1. Peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan
2. Peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah
3. Fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah
4. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
5. Sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas

Kelima kebijakan dapat disimpulkan menjadi dua, yaitu:
a. Sistem pelaporan atau penilaian yang direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan kepada dewan, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki.
b. Pelaporan Akuntabilitas sekolah yang dimaksud sebagai suatu keseluruhan perlu membuat rencana tahunan sekolah, menetapkan tujuan dan kegiatan yang ingin dicapai serta mempertanggungjawabkannya.
Jadi, SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan. Dalam penyelenggaraan sekolah menekankan partisipasi guru, orangtua, dan siswa tentunya.

c. Pelaksanaan Perkembangan MBS di Amerika
Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat menekankan kepada partisipasi dalam pendidikan dari berbagai pihak. Manajemen mengandung arti optimalisasi sumber-sumber daya atau pengelolaan dan pengendalian. Persoalannya adalah pengelolaan dan pengendalian seperti apa yang kini dibutuhkan oleh sekolah ?
Beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah, antara lain ; tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap hasil pendidikan yang disebabkan adanya perubahan perkembangan kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan budaya. Semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan kebutuhan kehidupan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntutan tersebut bermuara kepada pndidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
Model MBS telah dicoba di Amerika, berasal dari karya Edward E. Lawler dan kawan-kawan (dalam Susan Albert Mohrman, dkk) ternyata telah membawa dampak terhadap peningkatan kualitas belajar mengajar. Hal tersebut disebabkan oleh adanya mekanisme yang lebih efektif, yaitu pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat, sekaligus memberikan dorongan semangat kinerja baru sebagai motivasi berprestasi kepada kepala sekolah dalam melakukan tugasnya sebagai manajer sekolah. Dalam banyak kasus disebutkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah telah membawa dampak positif seperti yang dialami oleh sekolah-sekolah di beberapa negara antara lain di Selandia Baru, dan
Chile. Bagi sekolah-sekolah di Indonesia, ide dan pemahaman tentang MBS pada saat ini, merupakan momen yang tepat, pada saat munculnya perubahan politik pemerintah.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami konsep MBS:
Pertama : Pengkajian konsep MBS terutama yang menyangkut kekuatan desentralisasi , kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah. Dalam sistem keputusan, hal ini dikaitkan dengan program dan kemampuannya dalam meningkatkan kinerja sekolah.
Kedua : Penelitian tentang program MBS berkenaan dengan desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi Local Stakeholders . Pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pemberdayaan sekolah, perlu dihubungkan dengan efektivitas program.
Ketiga : Strategi MBS harus lebih menekankan kepada elemen manajemen partisipatif. Pengalaman dalam implementasi strategi MBS yang menekankan pada kekuasaan daripada kemampuan profesional (pengetahuan dan keahlian) menyebabkan kegagalan dalam menerapkan konsep MBS. Menurut Mohrman (1992), menyebutkan bahwa aspek kemampuan, informasi, dan imbalan yang memadai merupakan elemenelemen yang sangat menentukan efektivitas program MBS dalam meningkatkan kinerja sekolah.
Berdasarkan pelaksanaan MBS di negara maju, maka secara konseptual dan praktis, indikator keberhasilan MBS didukung oleh karakteristik-karakteristik dasar sebagai berikut :
1. Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah
2. Partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
3. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional
4. Adanya “team-work” yang tinggi dan professional

d. Pelaksanaan Perkembangan MBS di Indonesia
MBS bukanlah hal yang baru di-Indonesia. Pada tahun 1999 dengan bekerjasama serta bantuan dari UNESCO dan UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan Wonosobo), Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur(Kota Kupang). Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten di 9 propinsi dengan 1479 SD/MI.

Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID – lembaga bantuan dari pemerintah Amerika Serikat juga telah mengembangkan program MBS sejenis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Managing Basic Education (MBE), serta pada tahun 2004 model MBS juga dilaksanakan di tiga kabupaten Jawa Timur dengan dukungan Indonesia – Australia Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun 2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi di Indonesia melalui program Decentralized Basic Education (DBE).
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. Program ini menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Seperti halnya 5 pokok SIM di Hongkong, MBS di-Indonesia juga bertujuan untuk menjawab berbagai permasalahan didunia pendidikan di-Indonesia dan dipandang sebagai cara yang paling efektif dan efisien.
Ada 8 motif diterapkannya MBS di Indonesia antara lain:
1. Motif ekonomi,
2. Motif profesional,
3. Motif politik,
4. Motif efisiensi administrasi,
5. Motif finansial,
6. Motif prestasi siswa,
7. Motif akuntabilitas,
8. Motif efektivitas sekolah.
Motif yang sering dipakai dan terlihat jelas digunakan oleh sekolah-sekolah karena dipandang penting adalah motif efektivitas sekolah. Motif efektifitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan disekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif-tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil, atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik, diupayakan menerapkan indikator-indikator atau ciri-ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS diharapkan setiap sekolah, sesuai kondisi masing-masing, dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks social budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran. Atau dengan kata lain, efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa).

2. Karakteristik MBS
MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah
b. Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
c. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional
d. Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional12
Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan . Sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS berdasarkan
berdasarkan pada input, proses dan output.
1. Input Pendidikan
Dalam input pendidikan ini meliputi;
(a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas,
(b) sumber daya yang tersedia dan siap,
(c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi,
(d) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (e) fokus pada pelanggan.
2. Proses
Dalam proses terdapat sejumlah karakter yaitu;
(a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi ,
(b) Kepemimpinan sekolah yang kuat,
(c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
(d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif,
(e) Sekolah memiliki budaya mutu,
(f) Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis.
3. Output yang diharapkan
Output Sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajarn dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir ( Kritis, Kreatif, Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya.
Karakteristik MBS bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi.
Sementara itu, menurut Depdiknas fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah
Sekolah di beri kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, Sekolah juga diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.
2. Pengelolaan Kurikulum
Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Sekolah di beri kebebasan untuk memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4. Pengelolaan ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
5. Pengelolaan keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus di beri kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata bergantung pada pemerintah.
6. Pelayanan siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
7. Hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

3. Kendala-Kendala Penerapan Pelaksanaan MBS
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
4. Prinsip Good Governance
a. Partisipasi
Partisipasi adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengeva-luasian pendidikan disekolah. Contohnya dalam pembelajaran dikelas siswa diharapkan tidak pasif. Jadi didalam kelas siswa dituntut untuk dapat mencari sendiri sumber bahan belajar lain yang akan dipelajari didalam kelas, bertanya mengenai hal-hal yang kurang dimengerti dalam proses KBM
Ilustrasi penerapannya antara lain setiap satu tahun sekali sekolah mengadakan rapat tahunan yang dihadiri oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, dan orang tua murid untuk meninjau tentang hasil evaluasi pembelajaran serta memberikan masukan – masukan yang belum masuk dalam hasil evaluasi.
b. Transparansi
Transparansi adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Contohnya dalam pembelajaran dikelas guru harus adil dan transparan dalam memberikan nilai.
Ilustrasi penerapannya adalah antara lain adanya kepastian akan keterbukaan antara pihak sekolah, masyarakat, dan wali murid yang meliputi nilai, keuangan, dan kebijakan program-program yang diterapkan disekolah itu.
c. Akuntabilitas
Akuntanbilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban penyelenggaran organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenanan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu :
- Standar isi
- Standar proses
- Standar kompetensi lulusan
- Standar pendidikan dan tenaga kependidikan
- Standar sarana dan prasarana
- Standar pengeloolaan
- Standar pembiayaan
- Standar penilaian pendidikan
Akuntabilitas dalam belajar dapat diwujudkan dikelas dengan cara guru dalam pembelajaran guru harus membimbing siswa sampai pada akhirnya mencapai kompetensi yang diinginkan. Sedangkan siswa harus ada pertanggung jawaban dengan cara belajar rajin agar dapat mencapai kompetensi yang diinginkan tersebut.
Ilustrasi penerapannya antara lain setelah setiap akhir tahun kepala sekolah mengadakan rapat bersama sekolah, wali murid, dan masyarakat sekitar untuk membahas mengenai program-program yang sudah terlaksana satu tahun yang lalu dievaluasi apa keberhasilannya dan apa kekurangannya untuk memperbaiki ke tahun selanjutnya.

5. Implementasi MBS
Pelaksanaan MBS di berbagai negara dan konsep dasar MBS merupakan latar belakang perlunya implementasi MBS. implementasi MBS akan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya, antara daerah satu dengan daerah lainnya, bahkan sekolah satu dengan sekolah lainnya. Hal tersebut didasari atas perbedaan tujuan diantara suatu negara, daerah dan sekolah. Tingkat keberhasilannya pun akan berbeda-beda pula.
1Keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari ketercapaian prinsip-prinsip/ciri MBS.
1. Prinsip Partisipasi
a. Meningkatnya kontribusi/dedikasi stake holders
b. Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada sekolah
c. Meningkatnya tanggungjawab dankepedulian
d. Meningkatnya kualitas dankuantitas masukan (kritik & saran), dan
e. Keputusan benar-benar mengekspresikan aspirasi dan pendapat stakeholders.
2. Prinsip Transparansi
a. Meningkatnya keyakinan dan kepercayaan public kepada sekolah
b. Mmeningkatnya partisipasi publik terhadap penyelenggaraan sekolah
c. Bertambahnya wawasan dan pengetahuan publik terhadap penyelenggaraan sekolah, dan
d. Berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundangan.
3. Prinsip Akuntabilitas
a. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan public terhadap sekolah
b. Tumbuhnya kesadaran public tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
c. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.

6. Standart Pelayanan Minimal Pendidikan
. Yang dimaksud dengan Standar sarana dan prasarana berdasarkan PP No.19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan merupakan standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Keterkaitan SPM dengan MBS ialah SPM digunakan sebagai alat ukur/parameter yang berlaku secara nasional. Karena SPM pendidikan merupakan gambaran spesifikasi teknis pelayanan pendidikan dan merupakan bagian dari standar nasional. SPM Pendidikan memiliki sifat sederhana, mudah untuk diukur, nyata/konkrit, keterbukaan, keterjangkauan, dapat dipertanggung jawabkan, dan memiliki batas waktu pencapaian.
Contoh SPM Pendidikan pengelolaan sekolah dalam bidang sarana dan prasarana yang harus terdapat di SD/MI antara lain:
a. Kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang harus dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah,
b. Kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah / madrasah.
Sebuah tingkat satuan pendidikan harus memiliki prasarana yang telah ditetapkan dalam PP No.24 tahun 2007. Berikut ini kelengkapan prasarana untuk satuan pendidikan
a.Ruang kelas
b.Ruang perpustakaan
c.Ruang pimpinan
d.Ruang guru
e.Ruang UKS
f.Ruang sirkulasi
g.Ruang konseling
h.Ruang organisasi kesiswaan
i.Ruang laboratorium IPA
j.Ruang laboratorium Fisika
k.Ruang laboratorium Kimia
l.Ruang laboratorium Biologi
m.Ruang laboratorium Komputer
n.Ruang laboratorium Bahasa
o.Ruang tata usaha
p.Tempat beribadah
q.Gudang
r.Tempat bermain/olahraga
s.Jamban
Ini adalah syarat kelengkapan minimal yang harus dimiliki oleh setiap tingkat satuan pendidikan, artinya setiap tingkat satuan pendidikan dapat memiliki lebih dari prasarana yang telah ditentukan. Prasarana tersebut dilengkapi dengan sarana seperti meja, bangku, papan tulis, lemari, buku dan media pembelajaran lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep MBS pada dasarnya mengacu pada manajamen sumber daya di tingkat sekolah yang melibatkan partisipasi masyarakat, warga sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sumber daya tersebut mencakup: kekuasaan, pengetahuan, teknologi, keuangan, manusia, material, dan waktu. Melalui MBS, sekolah memiliki kontrol yang lebih dalam mengarahkan organisasi sekolah ke depan, sesuai dengan tujuan dan strategi yang telah ditetapkan sekolah. Di samping itu, sekolah juga memiliki kontrol terhadap keuangan sekolah yang dapat dialokasikan untuk pengembangan sumber daya manusia, dan peningkatan proses pembelajaran. Sekolah juga mempunyai tanggung jawab terhadap pengembangan kurikulum, dan bagaimana menggunakan material dalam proses pembelajaran.
B. Saran
Saran dari kelompok kami adalah pemerintah memberikan fleksibilitas kepada sekolah dalam penggunaan sumber daya dan kepala sekolah memberikan kesempatan partisipasi yang lebih besar kepada guru, orang tua, dan bekas siswa (alumni) di dalam pengembangan keputusan sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar