Kamis, 14 Oktober 2010

Tugas
Manajemen Berbasis Sekolah
Dosen Pengampu Prof. Dr. Slameto, M.Pd





Disusun oleh :
David Kristian S. (292008025)
Lilik Sutarminingsih (292008076)
M. Agung Setyo N. (292008124)
Gregorius Ivan D.J. (292008159)
Yahya Jaka S. (292008172)
Suti Rahayu (292008192)


PROGAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010
ABSTRAKSI


Abstraksi:

Sekarang ini pemerintah baru sadar bahwa untuk membangun suatu bangsa adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Kenapa setelah lebih dari setengah abad pemerintah baru sadar akan hal itu. Tapi ini merupakan sinyal baik untuk dunia pendidikan dan pastinya kemajuan untuk suatu bangsa. Itulah yang sedang digarap pemerintah lewat Diknas selaku departermen pendidikan yang menangani pendidikan bangsa. Salah satunya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah manajemen pendidikan yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara. Salah satunya di Indonesia dan penerapan MBS disesuaikan lebih dahulu dengan Sistem Pendidikan di Indonesia. MBS diterapkan dengan tujuan agar sekolah diberi wewenang untuk mengelola sekolah masing – masing dan semaksimal mungkin sesuai dengan visi dan misi sekolah masing – masing agar mutu pendidikan menjadi meningkat. Jika dulu sentralistik sekarang dituntut disentralistik dan ini menjadi pekerjaan rumah yang akan menghambat pelaksanaan MBS, kesiapan, kesiagaan, dan kreativitas stakeholder sangat berpengaruh dalam pelaksanaan MBS.








Kata Kunci : Implementasi MBS, Mutu Pendidikan

PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Masalah

Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia.

Namun saat ini dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih berorintasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menjadi pesimis terhadap sekolah.

Dengan latar belakang tesebut jelas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan penidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi peserta didik karena MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah.











2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan ini dirumuskan Apakah Implementasi MBS memiliki hubungan dengan peningkatan mutu pendidikan?

3. Manfaat

Hasil penelitian terhadap implementasi MBS dan kaitannya dengan peningkatan
mutu pendidikan ini diharapkan memberikan sejumlah manfaat, antara
lain:
1. Secara teoritis / akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan
2. Secara Praktis, dapat memberikan masukan bagi sekolah untuk mengetahui peningkatan mutu pendidikan melalui implementasi MBS.

4. Tujuan

Mengetahui sejarah MBS dan mengimplementasikannya ke sekolah.

5. Metode pengembangan
Metode yang digunakan yaitu dengan kajian teori dan kerangka berfikir.

Implementasi MBS
MBS di Kanada
Di Kanada model MBS yang diterapkan lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation). MBS dimulai di Edmonton Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai “School-site decision-making”, yang telah menghasilkan desentralisasi alokasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, perlengkapan, barang-barang keperluan layanan pendidikan. Pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah rintisan, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self management) secara komprehensif pada tahun 1980-1981, yang pada akhirnya hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di tahun 1986, sekolah rintisan yang melibatkan 14 sekolah, memperluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan pusat. Ciri penting di sini adalah model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen yang menggambarkan biaya layanan konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai tipe layanan (service) kemudian ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981. Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan pendanaan dari “school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan ini menjangkau sebagian besar sekolah dan mencapai sekitar 50 % guru-guru.

MBS di Indonesia

Pelaksanaan MBS di Indonesia tergolong masih asing kedengarannya, karena masih baru dalam pelaksanaannya dan karena perkembangan dunia pendidikan Indonesia yang semakin hari dituntut untuk mengikuti pola perkembangan jaman Globalisasi. Dan penggodokan dari semua segi aspek pendidikan menjadi rintangan tersendiri oleh pemerintah. Alhasil pincang sana pincang sini untuk melaksanaakan MBS. Tujuan untuk lebih menekankan persoalan kepada implementasi MBS yang tepat di sekolah. Penerapan MBS di Indonesia juga memiliki dasar hukum yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan serta pengelolaan sekolah dengan menggunakan prinsip MBS secara resmi mulai diberlakukan pada 8 Juli 2003. Pada sebelumnya, pemerintah sudah melakukan dan melaksanakan berbagai program rintisan di semua jenjang pendidikan berkenaan dengan penggunaan model MBS melalui berbagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan dapat meningkatkan peran serta dan partisipasi dari masyarakat. Pada tahun 1999 dengan melakukan kerjasama dengan PBB (UNESCO dan UNICEF) program pelaksanaan MBS di Indonesia telah dirintis di 124 SD/MI yang tersebar di 7 kabupaten antara lain Propinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Wonosobo. Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Probolinggo. Propinsi Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Bontang, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Kota Kupang Pada tahun 2002 pemerintah Selandia Baru memberikan bantuan pendanaan untuk menyebarkan dan memantapkan program sebelumnya di 7 kabupaten/kota rintisan dan untuk mendiseminasikan program ke 7 kabupaten yang lain yang terletak di Indonesia Timur, yaitu Propinsi Papua dan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah SD/MI yang berkembang melaksanakan program MBS menjadi 741 sekolah. Diseminasi bantuan program yang dilakukan UNICEF di pulau Jawa juga dilakukan dengan menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank, bantuan juga diberikan oleh AusAID (lembaga bantuan Australia) hingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang kedalam 40 kabupaten pada 9 propinsi dengan total SD/MI 1479 sekolah


MBS di Hongkong

Model MBS di Hongkong lebih dikenal sebagai School Management Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah untuk memecahkan beberapa masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya pemahaman peran dan tanggung jawab, tidak adanya pengukuran kemampuan, menekankan pada kontrol yang mendetail daripada kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta menekankan pada pengendalian biaya margin daripada efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas kesempatan sekolah dan sistem pendidikan, perbaikan pada input sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti program remedial, bimbingan siswa, dan beberapa penataran dalam-jabatan (inservice training). Kebijakan ini mengubah model manajemen yang sentralistik, serta memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.

Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former students) untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang lebih sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam hal pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan-kan pada manajemen-bersama (joint management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah. Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan baru untuk Departemen Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen sekolah, para sponsor, pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (e) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.

MBS di Amerika

Site Based Management dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat menekankan kepada partisipasi dalam pendidikan dari berbagai pihak. Manajemen mengandung arti optimalisasi sumber-sumber daya atau pengelolaan dan pengendalian. Persoalannya adalah pengelolaan dan pengendalian seperti apa yang kini dibutuhkan oleh sekolah ?

Beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah, antara lain ; tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap hasil pendidikan yang disebabkan adanya perubahan perkembangan kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan budaya. Semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan kebutuhan kehidupan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntutan tersebut bermuara kepada pndidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
8 motif penerapan MBS
Delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah. Dan yang kami ambil yaitu motif akuntabilitas karena Akuntabilitas adalah kewajiban untuk mem berikan pertanggungjawaban penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggung-jawaban.

Penerapan pelaksanaan MBS terdapat kendala-kendala. Salah satu kendalanya adalah peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini masih sangat minim. Dan pihak yang bertanggung jawab atas permasalahan ini yaitu peran orang tua , guru dan kepala sekolah.karena guru adalah yang paling mengerti keadaan siswa disekolah. Dan kepala sekolah sebagai pendamping. Kendala-kendala tersebut masih bisa diminimalisir dengan guru dan kepala sekolah dengan pendekatan melalui rapat wali murid yang diadakan sesuai dengan kebutuhan.

Partisipatif adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan disekolah. Ilutrasinya kepala sekolah tidak mungkin mengambil keputusan sendiri tentang penilaian sekolahnya, maka dibutuhkan guru dan stakeholder agar bisa menilai sekolahnya layak atau tidak untuk melaksanakan kebijakan yang diambil dan tidak mengabaikan peran stakeholder. Di dalam kelas partisipatif disini yaitu ditujukan oleh siswa. Peran serta siswa sangat diperlukan untuk menunjang kesuksesan dalam pembelajaran. Atau materi tersebut bisa diterima siswa atau tidak.

Transparansi adalah keadaan dimana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Transparansi sama dengan polos, apaa danya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ilustrasi, sekolah tidak memanipulasi data tentang sekolah atau data keuangan kepada semua orang . Atau Bersifat terang -terangan dan terbuka. Di dalam kelas guru harus memberi penilaian kepada siswa secara obyektif bukan menurut keinginan guru sendiri.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggung jawaban.

MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah
b. Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
c. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional
d. Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional

Karakteristik MBS bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi.

Latar belakang Implementasi MBS yaitu rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Antara lain memberikan pelatihan dan peningkatan mutu pendidikan nasional . Indikasi tercapainya implementasi tersebut adalah kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung dengan baik, berdaya guna, dan berhasil guna . contoh peningkatan tersebut yaitu seperti; meningkatkan belajar siswa, meningkatkan standar hasil belajar siswa, meningkatkan penyelenggaraan pendidikan berbasis system (utuh dan benar). Sehingga sekolah sebagai system terdiri dari konteks, input, proses, output, dan outcome.





PENUTUP

KESIMPULAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari School Based Management , adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk me-redisain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.Manajemen Berbasis Sekolah merubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders ). (Chapman, J, 1990).
Dengan mengalihkan wewenang dalam keputusan dari pemerintah tingkat Pusat ke tingkat Sekolah, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Pada pelaksanannya disadari bahwa mengimplementasikan pemberian kewenangan kepala sekolah melalui pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan proses dan waktu.

SARAN
Saran dari kami adalah pentingnya belajar dan belajar, seorang gurupun harus selalu belajar untuk dapat bersaing di jaman globalisasi ini. Dimana suatu saat perkembangan pendidikan yang berubah-ubah dan tuntutan jaman, stakeholder juga mengikuti kemana arah pendidikan ini akan dibawa arus.




Daftar pustaka
Ibtisam Abu Duhou, School Based Management, (Jakarta:Kencana 2004) h.7
E. Mulyasa, Manajemen berbasis Sekolah, (Jakarta:Rosda 2004), cet ke.7, h.24
Nanang Fatah, Konsep Manajemen berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah . (Bandung:Pustaka Bani Quraisy 2003) h.8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar